Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden yang mencapai 75 persen ternyata belum membuat Joko Widodo (Jokowi) tenang di akhir jabatannya.
Kekhawatiran tersebut tercermin saat Presiden Jokowi mewanti-wanti potensi terjadi turbulensi politik di akhir masa jabatannya sebagaimana disampaikan saat Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin lalu (24/6/2024).
Menurut pengamat politik Ray Rangkuti, kecemasan Presiden Jokowi tidak sejalan dengan tingkat kepuasan publik sebagaimana hasil survei Litbang Kompas baru-baru ini. Maka dari itu, ia curiga ada peristiwa besar yang membuat Jokowi tidak tenang.
"Enggak masuk akal, di saat tingkat kepuasan tinggi tapi presiden ngomong hati-hati ada turbulensi politik," kata Ray Rangkuti dikutip Kamis (27/6/2024).
Menurut Ray, kekhawatiran Presiden Jokowi akan menjadi wajar jika tingkat kepuasan publik misalnya hanya 51 persen.
Oleh karenanya, ia menduga Presiden Jokowi sedang takut dengan kondisi politik di internal koalisinya. Sebab jika merujuk survei, sangat tidak mungkin kekhawatiran Presiden itu berasal dari luar koalisi karena angka ketidakpuasan hanya 25 persen.
"Kalau Presiden khawatir, jawabannya harus dicari dari dalam. Karena dari luar enggak mungkin, cuma sisa 25 persen (yang tidak puas). Kemungkinan terjadi dari dalam," jelas Ray.
Sinyal gangguan dari dalam dinilai cukup kuat jika merujuk beberapa dinamika politik kebijakan pemerintah. Mulai dari pembatalan kebijakan kenaikan UKT, hingga tidak adanya dukungan partai politik soal kebijakan Tapera.
Sejauh ini, tidak ada satu pun partai politik pendukung Jokowi menyatakan dukungan terhadap Tapera. Meski, kata dia, parpol pendukung juga tidak menyatakan penolakan secara terbuka.
"Maka di tengah kepuasan itu, mencuat kekhawatiran karena teman setia Pak Jokowi tidak sesetia yang dibayangkan," pungkasnya. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved