Saat ini Kejaksaan Agung masih menangani delapan obligor BLBI yang harus melunasi utang-utangnya hingga akhir tahun 2006. Apabila kedelapan obligor BLBI itu sudah melunasi utang, bukan berarti perkara hukumnya tuntas. Ini karena masih akan diselidiki kemungkinan terjadinya penyimpangan pidana oleh obligor tersebut.
Hal tersebut diungkapkan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin (22/5). Kedelapan obligor yang sedang ditangani pihak Kejaksaan Agung merupakan obligor yang pernah menandatangani perjanjian kewajiban pemegang saham (PKPS).
Namun Menteri Keuangan menyatakan bahwa kedelapan obligor tersebut telah menunggak BLBI begitu lama. Karena itu, seluruh kewajiban akan dihitung hingga sebelum pembayaran terakhir pada akhir Desember 2006. Bila kedelapan obilgor tersebut telah melunasi hutang pokok plus bunga dan denda, maka mereka mesti ke datang Kejaksaan Agung. Mekanisme ini seperti yang berlaku pada pemerintahan Megawati.
"Kalau semua berjalan lancar, sudah ditentukan berapa kewajiban pembayarannya, berapa utang, berapa denda, maka setelah lunas mereka harus datang ke Kejaksaan. Itu mekanisme seperti di era Kabinet Megawati," kata Jaksa Agung.
Bila pada pemerintahan Megawati, obligor yang telah melunasi hutang plus bunga dan denda, begitu mendatangi Kejaksaan Agung akan mendapat surat perintah penghentian perkara (SP3) sesuai rekomendasi dari otoritas moneter. Namun, pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, hal tersebut tidak secara otomatis Kejagung menerbitkan SP3.
Ini karena sekarang Kejagung akan meniliti dulu aspek pidananya. "Kami mesti mengecek terlebih dahulu, kalau tidak ada unsur pidananya, maka setelah pelunasan bisa langsung diterbitkan SP3. Kalau ada unsur pidananya, baru diberi deponering," jelas Rahman.
© Copyright 2024, All Rights Reserved