DEBAT perdana calon Gubernur Jakarta yang digelar Minggu (6/10/24) di JIExpo Kemayoran Jakarta menampilkan tiga pasangan kandidat yang siap merebut hati pemilih ibu kota. Namun, tulisan ini bukan untuk membahas program yang mereka tawarkan. Fokusnya adalah sosok, karakter, dan kesiapan mereka sebagai pemimpin.
Malam itu, panggung debat dikuasai oleh Pramono Anung dan Si Doel, terbukti dari hasil polling yang dirilis oleh Kompas dan I-News, dengan masing-masing memberikan dukungan 46% dan 64%. Pramono tampak lugas dalam menyampaikan gagasannya, memukau audiens dengan ide-ide konkret tentang bagaimana membangun Jakarta. Sosoknya terlihat bukan hanya sebagai politisi, tetapi juga sebagai pekerja lapangan yang paham administrasi. Seperti yang dikatakan Manuel Kaisiepo dalam catatannya, "Mas Pram adalah politisi penggalang solidaritas sekaligus administratur ulung."
Bagi yang mengenal Pram, ini bukan kejutan. Latar belakangnya sebagai aktivis mahasiswa dan ketua SATGAS pertama di ITB adalah modal kuat yang mengantarkannya dalam perjalanan panjang di dunia politik.
Pram, mahasiswa ITB angkatan 1982 jurusan Teknik Pertambangan, adalah bagian dari generasi yang masih merasakan imbas pembubaran Dewan Mahasiswa (DM) ITB pada tahun 1978. Meski DM dibubarkan, semangat gerakan mahasiswa tak pernah padam. Kampus-kampus, termasuk ITB, tetap menjadi arena perlawanan. Ketua-ketua himpunan di ITB saat itu bersatu membentuk Komite Pembelaan Mahasiswa (KPM), yang fokus utamanya adalah mengadvokasi para pimpinan mahasiswa yang ditangkap oleh rezim Orde Baru.
Pada 1985, ITB menjadi saksi aksi besar mahasiswa menentang rally mobil, yang dianggap menghabiskan subsidi BBM secara berlebihan. Rally ini digelar hampir setiap minggu di kota-kota besar seperti Medan, Jakarta, dan Surabaya, bahkan di perkebunan Sumatra dan Kalimantan. Demonstrasi ini menyebabkan Ketua KPM, Dedy Triawan, dipecat oleh Rektor ITB, Hariadi Supangkat, yang berada di bawah tekanan besar. Namun, tekanan kampus dan rezim Orde Baru tak mampu meredam semangat kritis mahasiswa. Pemecatan itu justru memicu demonstrasi besar saat kunjungan Presiden Prancis, Francois Mitterrand, ke ITB pada September 1986.
Kunjungan kenegaraan Mitterrand ke ITB kala itu tak disambut dengan karangan bunga atau musik angklung. Sebaliknya, mahasiswa menyajikan pertunjukan teatrikal yang simbolis: mereka memotong bebek petelur, menggambarkan "bunuh diri kelas". Ide ini muncul dari diskusi para aktivis, salah satunya Pram, yang menyarankan agar simbol ayam (yang diasosiasikan dengan Prancis) diganti dengan bebek.
Pesan moral dari aksi itu jelas: mahasiswa bukanlah “bebek petelur” yang hanya dihargai saat produktif. Kampus seharusnya melahirkan pemimpin masa depan, bukan sekadar tenaga kerja. Setelah aksi ini, Rektor ITB diundang bertemu dengan Presiden Soeharto di Bina Graha. Sebelum pertemuan, Soeharto mendapat nasihat dari Mitterrand untuk memperhatikan mahasiswa sebagai calon pemimpin bangsa. Dalam pertemuan tersebut, Soeharto berpesan agar rektor tidak terlalu keras terhadap mahasiswa, yang kemudian melonggarkan kegiatan kemahasiswaan di ITB.
Menyikapi perubahan tersebut, Forum Ketua Himpunan Jurusan (FKHJ) bersepakat membentuk SATGAS, yang berfungsi seperti Dewan Mahasiswa sebelumnya. Setelah itu, digelar pemilu untuk memilih ketua SATGAS. Dalam pemilu demokratis pertama sejak pembekuan DM, Pramono Anung terpilih sebagai ketua SATGAS ITB pertama, membuktikan kemampuannya dalam mengorganisir dan memimpin.
Melihat kiprah Pram di masa lalu, tak diragukan lagi bahwa Jakarta membutuhkan pemimpin dengan jiwa aktivis seperti dia. Pemimpin yang tak hanya paham birokrasi, tetapi juga mampu merawat Jakarta dengan semangat pergerakan. Selamat, Pram. Sosok Anda pantas memimpin Jakarta.
*Pegiat Sosial Media (Sosmed), Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR era Tahun 90an
© Copyright 2024, All Rights Reserved