Tuduhan serius dilontarkan Dr Michael Buehler, seorang dosen Ilmu Politik Asia Tenggara di School of Oriental and African Studies di London terhadap kunjungan Presiden Joko Widodo ke Amerika Serikat, akhir Oktober lalu. Ia menyebut, pemerintah Indonesia menggunakan jasa perusahaan konsultan Singapura untuk mensukseskan kunjungan itu. Perusahaan itu membayar US$80.000 atau setara Rp1,08 miliar kepada sebuah firma pelobi asal Las Vegas untuk membantu Presiden Joko Widodo mendapatkan akses ke Gedung Putih.
Skandal diplomasi ini diungkap Michael Buehler, melalui artikel berjudul "Waiting In The White House Lobby" yang dipublikasikan di situs New Mandala, http://asiapacific.anu.edu.au, pada Jumat (06/11) kemarin.
Sekedar informasi, New Mandala adalah situs yang didirikan Profesor Andrew Walker dan Dr Nicholas Farrelly dari Coral Bell School of Asia Pacific Affairs, Australian National University, pada Juni 2006. Situs ini berisi rangkaian analisis dan perspektif politik terkait dengan dinamika yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Artikel Buehler tersebut diawali dengan pertanyaan, "Mengapa konsultan Singapura membayar 80 ribu dolar AS kepada sebuah perusahaan PR di Las Vegas untuk menjadi juru lobi pemerintah Indonesia?"
Buehler menilai, padahal kunjungan Jokowi itu hanya menghasilkan manfaat biasa-biasa saja di bidang perdagangan, pertahanan, dan persahabatan bilateral kedua negara.
Buehler menyebut, kehadiran Jokowi itu menandai kunjungan resmi pertama seorang Presiden Indonesia ke Amerika Serikat dalam 10 tahun terakhir. Presiden Obama memberikan waktu kepada Jokowi selama 80 menit untuk membahas hubungan bilateral antara negara demokrasi terbesar kedua dan ketiga di dunia tersebut.
Dalam artikelnya, Buehler mengutip dokumen publik Kementerian Kehakiman AS per 17 Juni 2015. Dokumen itu menyatakan bahwa konsultan Singapura, Pereira International PTE LTD, telah menyepakati kerja sama dengan R&R Partners Inc, pelobi asal Las Vegas, AS, senilai US$80.000.
R&R Partners menjual jasa lobi senilai US$80 ribu yang harus dibayar dalam empat angsuran antara 15 Juni hingga 1 September. Konkretnya, R&R Partners setuju untuk "dipertahankan sebagai konsultan cabang eksekutif oleh pemerintah Indonesia."
Kontrak layanan yang diberikan R&R Partners adalah; Mengatur dan menghadiri pertemuan dengan pembuat kebijakan kunci dan anggota Kongres dan cabang eksekutif termasuk Departemen Luar Negeri; Mencoba untuk mengamankan kesempatan mengatasi sesi gabungan Kongres Selama kunjungan Presiden Widodo Indonesia ke AS. dan; Mengidentifikasi dan bekerja dengan individu yang berpengaruh, media, Organisasi publik dan swasta dan afiliasinya di AS untuk mendukung upaya Presiden Widodo.
Buehler menyebut, dengan kesepakatan itu, R&R Partners akan bekerja sebagai konsultan bagi para pejabat RI, yang membantu untuk mendapatkan akses ke Washington, dalam rangka kunjungan Presiden Joko Widodo ke AS. R&R Partners juga akan mengomunikasikan pentingnya RI bagi AS di sektor keamanan, perdagangan, dan ekonomi, kepada orang-orang berpengaruh di Gedung Putih.
Kontrak tersebut juga mengidentifikasi sosok konsultan yang dimaksud, yaitu Morgan Baumgartner, selaku Executive Vice President and General Counsel R&R Partners. Kontrak itu diteken oleh Sean Tonner selaku President R&R Partners, and Derwin Pereira atas nama Pereira International.
Buehler menilai, situs web R&R Partners tidak menunjukkan bahwa konsultan tersebut tahu banyak tentang dinamika politik di Indonesia atau berpengalaman bekerja di Indonesia, sehingga bisa mengomunikasikan pentingnya RI bagi AS. Ia menilai hal ini juga dikonfirmasi oleh latar belakang Baumgartner dan Tonner.
Sebaliknya, Derwin Pereira, konsultan Singapura yang membayar US$80.000 ke R&R Partners untuk Pemerintah RI, dinilai Buehler punya track record yang sangat meyakinkan. Dia mantan Kepala Biro The Straits Times di Jakarta pada 1998, lalu ditempatkan di Washington, hingga akhirnya resign dan mendirikan konsultan.
Buehler menyebut, Pereira adalah pemegang gelar master dari Harvard dan anggota dewan internasional pada Kennedy Schools Belfer Center for Science and International Affairs. Pereira juga membiayai Derwin Pereira Graduate Fellowship untuk mendukung program bea siswa bagi pelajar dan mahasiswa dari Indonesia.
Track record Pereira menurut Buehler, juga pernah bekerja sama dengan Yayasan Anchora yang didirikan mantan Menteri Perdagangan era Presiden Yudhoyono yaitu Gita Wirjawan.
Selain itu, sejak 2012, Pereira juga mensponsori Derwin Pereira Indonesia Initiative (DPII), sebuah seri dialog yang digelar di Washington-AS, yang menampilkan para politisi Indonesia yang diperhitungkan bersama Center for Strategic and International Studies (CSIS), salah satu lembaga think tank di Indonesia yang dikenal memiliki jaringan luas.
Buehler mengatakan, meski Pereira memiliki track record yang panjang dalam urusan lobi dengan elit-elit di pemerintahan Indonesia, kontraknya dengan R&R Partners tak sedikit pun menyebut nama atau pejabat RI, termasuk Menko Polkam Luhut Pandjaitan, yang berangkat ke AS pada Maret lalu terkait dengan rencana kunjungan Jokowi.
Akan tetapi, Buehler mencatat, Pereira memiliki kaitan yang jelas dan sangat erat dengan Luhut Panjaitan. Pereira menulis sejumlah cerita tentang Luhut saat menjadi wartawan The Straits Times di Indonesia, dan juga mewawancarainya di Singapura saat Luhut menjadi Dubes RI untuk Singapura pada 1999-2000.
Situs Pereira International juga menampilkan foto Luhut sama seperti yang terpampang pada situs Toba Sejahtra, perusahaan tambang dan perkebunan milik Luhut. Meski begitu, Buehler menyatakan, tak ada bukti bahwa Luhut-lah yang memerintahkan Pereira untuk membayar R&R Partners sebesar US$80,000 atas jasa lobinya.
Dalam artikel itu, Buehler menilai pencapaian diplomasi dari muhibah Presiden RI ke AS mengecewakan. Selain adanya R&R Partners tadi, dia juga menyebut lemahnya koordinasi antarpejabat dan diplomat RI.
Sejauh ini, belum ada respons dari Kantor Presiden, Kemenlu RI, maupun Pereira atas artikel Buehler ini.
© Copyright 2024, All Rights Reserved