IRAN membordardir Israel, katanya ini adalah tindakan balasan. Ya balas membalas, sampai nanti tereskalasi menjadi --kata banyak pengamat-- potensi pecahnya perang dunia ketiga. Ini sangat mengerikan.
Bellum omnium contra omnes, perang semua melawan semua. Habis sudah, yang tersisa cuma cerita sahibul hikayat. Dulu pernah ada manusia yang membentuk negara. Berdasar kepercayaan masing-masing mereka saling menyerang. Semua untuk “membela Tuhannya” menurut versi keyakinannya sendiri-sendiri.
Sudahlah, sekarang kita cermati dulu dampak ekonominya bagi Indonesia. Ya, urusan rumah-tangga (oikos-nomos) Indonesia, yang dipengaruhi geo-politik kawasan.
Iran dan Israel ini apakah “cuma proxy” dari pihak lain yang berseteru? Kalau benar begitu tentu mesti dicermati pula apa motif mereka yang berada di belakang panggung. Siapa mereka? Apa kepentingan mereka?
Posisi sekarang (pasca serangan rudal balistik Iran ke Israel) adalah menunggu, apakah Israel bakal melakukan serangan balasan lagi? Ini tentu tergantung “sinyal” dari negara-negara “sponsor” Israel. Dan nantinya juga dari negara-negara “sponsor” Iran.
Sementara itu para pengamat di dalam negeri (maupun internasional) berspekulasi bahwa rantai pasok dunia, terutama yang melewati di kawasan Timur Tengah bakal terdampak. Terutama jalur logistik yang menyeberangi terusan Suez. Suasana juga memanas di kawasan Selat Hormuz dan Laut Mediteranea.
Bagi Indonesia, kapal-kapal pengangkut minyak, gandum (bahan untuk tepung terigu) dan produk Eropa lainnya bakal ambil jalur pintas terusan Suez dan berlayar di kawasan itu. Kalau mesti memutari benua Afrika berapa ongkos yang mesti ditambah? Ujung-ujungnya berdampak pada harga jual produk akhir. Inflasi? Tentu saja.
Jika inflasi meningkat, tentunya suku bunga akan berpotensi melonjak naik untuk menekan peredaran uang agar harga-harga kembali normal alias stabil.
Mahasiswa kos-kosan di Bandung, Medan dan Makassar mesti beli mie instan dengan harga yang lebih mahal. Mesti ngutang ke warung Mbok Ijah lagi? Apa boleh buat, demi masa depan yang lebih cerah. Itu pun kalau masa depan masih ada, sebelum diberangus kepala-kepala nuklir negara sponsor Iran dan Israel.
Soal harga minyak yang diprediksi bakal meningkat gegara konflik Iran-Israel, kita lihat saja apakah Amerika Serikat yang selama ini jadi negara sponsor Israel bakal mengenakan sanksi atau embargo kepada Iran. Kalau sampai begitu, maka kenaikan harga tak bisa dibendung. Sudah pasti dampaknya bakal terasa sampai ke dalam negeri kita.
Kenaikan harga minyak di dalam negeri sudah pasti membawa efek berantai kepada komoditi-komoditi lainnya. Akibatnya kita semua mesti menghitung ulang berapa harga jual dagangan kita kepada konsumen, merekalah yang mesti menanggung itu semua.
Di tingkat ekonomi makro, perhitungan ulang juga mesti dilakukan. Perubahan APBN 2024, terutama pada sisi belanja dan defisit. Kenaikan harga minyak tentu menyebabkan kenaikan harga BBM bersubsidi, artinya menambah anggaran subsidi. Kecuali harga BBMnya ikut dinaikan.
Kurs rupiah yang sekarang tertekan sampai tembus di atas Rp16.000 per USD1 bisa saja terdepresiasi lebih dalam lagi. Katanya IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) bisa ikut-ikutan terjerembab.
Ekonomi domestik sekarang ini memang tidak bisa terlepas dari keterkaitan dengan ekonomi global. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM Tutuka Ariadji sudah memperingatkan harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) naik hingga USD10 per barel akibat serangan Iran terhadap Israel.
Lantaran itu ia pun memprediksi harga ICP bisa tembus ke level USD100 per barel.
Tekanan inflasi akan semakin kuat, biaya impor bahan baku dan bahan baku penolong jadi makin mahal. Akibatnya biaya produksi barang berbasis bahan baku impor jadi naik. Akhirnya harga jual barang ke konsumen disesuaikan, alias dinaikkan juga.
Ujungnya, pertumbuhan ekonomi akan sangat tertekan, lalu pengangguran dan kemiskinan jadi tambah banyak. Siklus ini semakin menekan konsumsi, dan akhirnya semakin menjatuhkan performa pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Kontemporer, trio (Jokowi-Prabowo-Gibran) di akhir masa pemerintahan Jokowi dan awal pemerintahan Prabowo-Gibran nanti mesti berselancar membawa Indonesia keluar dari krisis geo-politik yang secara riil sedang melanda. Sambil terus menavigasi bangsa masuk ke era keemasan 2045, memanfaatkan bonus demografi yang tak boleh tersia-siakan.
*Penulis adalah Direktur Eksekutif, Lembaga Kajian Strategis Perspektif (LKSP) Jakarta
© Copyright 2024, All Rights Reserved