Pemerintah Indonesia seharusnya mengajukan surat protes resmi terkait kampanye hitam yang dilakukan kelompok pro kemerdekaan Papua Barat melalui iklan televisi di Australia dengan mengusung wacana tudingan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) oleh TNI di Irian Jaya pada masa lalu.
Pemerintah seharusnya segera bereaksi. "Jika Indonesia merasa tersinggung dengan adanya tayangan tersebut, sebaiknya melayangkan surat protes," kata pakar Hukum Internasional, Universitas Indonesia (UI), Prof Hikmahanto Juwana, Senin (14/5).
Tayangan televisi di Australia yang berisi kampanye hitam melalui iklan yang disokong pengusaha Australia, Ian Malrose, dan melibatkan Clemens Runawery dan Hugh Lunn itu terus-menerus ditayangkan Stasiun TV "Channel 10" sepanjang hari. Jika dibiarkan ini akan merusak citra Indonesia dimata publik Australia yang sebenarnya tidak tahu menahu duduk persoalan itu.
Hikmahanto Juwana mengatakan surat protes tersebut bisa dilayangkan melalui KBRI Indonesia di Australia. "Jadi KBRI harus pro aktif memberikan infromasi kepada pemerintah pusat tentang adanya kegiatan tersebut," katanya.
Dengan informasi tersebut, kata dia, pemerintah pusat dapat mengevaluasi, dan selanjutnya memberikan reaksi atas tayangan tersebut, dengan melayangkan surat protes secara resmi kepada pemerintah Australia.
"Intinya isi surat protes tersebut adalah meminta kepada pemerintah Australia mengambil tindakan terhadap warganya yang ikut menyokong kegiatan itu," katanya.
Namun, kata dia, jika pemerintah Indonesia tidak tersinggung dengan adanya tayangan tersebut, maka tidak perlu melakukan apa-apa." Jadi ini semua tergantung pemerintah, tersinggung apa tidak dengan adanya tayangan tersebut," katanya.
Lebih lanjut, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) tersebut mengatakan, kegiatan warga Australia yang menyokong kampanye hitam itu dapat mengganggu integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Hanya saja, menurut dia, tindakan tayangan iklan tersebut tidak dapat dikenakan sanksi dalam hukum internasional karena hanya menyampaikan kebebasan berpendapat. "Jika tayangan tersebut dilanjutkan dengan aksi dan adanya kekerasan yang dilakukan maka bisa di bawa ke hukum internasional," katanya.
Ia mengatakan, seharusnya pemerintah Australia lebih sensitif terhadap kasus-kasus semacam itu bagi Indonesia, seperti adanya permintaan kemerdekaan Provinsi Papua, yang sebenarnya merupakan bagian tak terpisahkan NKRI. "Hubungan Australia dengan Indonesia selalu turun naik, jangan sampai kejadian tersebut memicu lagi ketegangan antar kedua negara," katanya.
Australia memang kerap terlihat menerapkan dua muka dalam hubungannya dengan Indonesia. Pada berbagai kesempatan pemerintah negeri kangguru itu kerap berbicara tentang mengakui dan mendukung kedaulatan NKRI. Namun, beberapa kali justru sikap pemerintah Australia itu bertentangan dengan pernyataan mereka.
Hubungan kedua negara sempat memanas ketika Australia secara sepihak memberikan suaka politik terhadap 39 orang papua yang mencari suaka. Akibat kasus ini, Indonesia sempat menarik pulang duta besarnya, yang mengakibatkan krisis hubungan kedua negara. Belakangan kasus ini mereda, dan Australia kembali menegaskan dukungannya atas keutuhan dan kedualatan NKRI.
Namun, kasus kampanye hitam terbaru ini, kembali membuat banyak pihak bertanya-tanya atas posisi Australia dalam melihat keberadaan Indonesia. Namun begitu, ketika ditanya apakah dengan adanya propaganda melalui tayangan iklan tersebut Indonesia perlu meninjau kembali hubungannya dengan Australia, Hikmahanto mengatakan hendaknya perlu melihat dahulu materi iklan yang disampaikan. "Surat protes resmi dari pemerintah untuk untuk saat ini sudah cukup," katanya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved