Sejak mengawali karier politiknya di DPR tahun 1999, Ida Fauziyah telah beberapa kali dilibatkan dalam panitia kerja dan panitia khusus berbagai RUU. Yang monumental adalah keterlibatannya dalam perumusan UU Pemilu. Menjadi anggota DPR berturut-turut selama tiga periode dari Partai Kebangkitan Bangsa, Ida konsisten mengupayakan affirmative action atau quota bagi caleg perempuan di DPR.
Disadari wanita kelahiran Mojokerto, 17 Juli 1967 ini, perjuangannya belum selesai. Baginya, tiga periode menjadi wakil rakyat tak sekedar hadir dan mengalir. Dengan segudang pengalaman memperjuangkan regulasi tak heran jika, pada periode sekarang PKB mempercayakannya untuk duduk sebagai Wakil Ketua Badan Legislasi (baleg) DPR. Posisi yang cukup strategis dalam melahirkan undang-undang.
Ibu dari Syibly Adam Firmanda dan Adil Haq Firmanda itu sangat concern dalam merekrut caleg perempuan. Sebagai salah satu ketua PKB, anggota Komisi II DPR ini telah menyiapkan pengkaderan. Mereka yang gagal dalam pencalonan, tidak lantas ditinggalkan, tetapi tetap diakomodir. Misalnya, dengan menempatkannya sebagai Tenaga Ahli di fraksinya. Ini untuk pembelajaran dan pengkaderan. Kepada kader-kader muda ia berpesan, jangan hanya datang setiap lima tahun atau menjelang Pemilu. Berproseslah selama mungkin, agar mampu memenangkan persaingan pada pemilu berikutnya. Siapa sebenarnya politisi perempuan yang telah tiga periode berturut-turut menjadi wakil rakyat ini?
Ditemui Sapto Adiwiloso dari politikindonesia pada Kamis, (18/02) di ruang 1826 Gedung Nusantara I DPR, tempat ia berkantor sehari-hari, Dra Hj.Ida Fauziyah berbicara panjang lebar. Berikut petikan:
Bagaimana anda mengawali karier di bidang politik?
Sebelum terjun ke politik, saya ini guru yang juga aktif pada kegiatan sosial. Kegiatan sosial tidak terlalu jauh berbeda dengan apa yang saya lakukan sekarang. Bagi saya berpolitik itu sarana pengabdian. Sebagai orang beragama, saya mengartikan politik sebagai sarana ibadah. Ketika kita berada dalam posisi pengambil kebijakan, kita bisa memilih kebijakan yang memang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Itu tidak bisa bila kita berada di luar parlemen. Saya perlu berterima kasih kepada partai yang telah menempatkan saya sebagai salah satu Wakil Ketua Baleg (Badan Legislasi) DPR. Jarang politisi perempuan dipercaya pada jabatan ini. Ini posisi strategis, dimana keruwetan negara ini bisa diurai melalui fungsi yang benar dalam merumuskan Undang-Undang (UU).
Anda tiga kali berturut-turut jadi anggota parlemen, bisa cerita perjuangannya?
Saya ikut menjadi anggota legislatif sudah tiga kali yakni periode Pemilu 1999, 2004 dan 2009. Masing-masing memiliki cerita sendiri. Tapi yang paling monumental menurut saya pada tahun 1999. Saya tidak bisa melupakan, karena itu buah reformasi. Saat itu masyarakat mengharapkan ada reformasi politik di lembaga DPR. Harapannya begitu tinggi. Antusiasmenya sangat luar biasa. Bahkan masyarakat rela membiayai sendiri untuk suksesnya Pemilu 1999 tersebut. Mereka berharap, reformasi politik akan berdampak baik pada peningkatan kesejahteraan. Saya ingat betul ketika kampanye di Bojonegoro, Jawa Timur ketika itu. Ini daerah pemilihan (dapil) saya. Ketika itu saya tidak mengeluarkan uang sedikit pun. Semua biaya ditanggung masyarakat. Malah saat pulang saya {disangoni} (dikasih uang-red) dalam sebuah amplop. Betapa gegap gempitanya masyarakat waktu itu. Begitu kuat keinginan mereka untuk membangun politik yang demokratis, dan melahirkan wakil rakyat yang mampu memenuhi harapan mereka. Itu luar biasa! Suasana itu juah berbeda dengan Pemilu 2004 dan 2009. Saya merasakan Pemilu 2009 tantangannya menjadi begitu kompleks dan luar biasa. Saya bersyukur telah mampu melampaui tantangan demi tantangan dalam tiga kali pemilu.
Bagaimana anda memperjuangkan hak-hak perempuan dalam berpolitik?
Pada periode 1999, UU Parpol belum mendorong adanya affirmative action bagi perempuan. Tak ada tindakan maupun perlakuan khusus yang mendorong keterwakilan perempuan lebih proposialnal. Partisipasi perempuan, lebih karena kesadaran partai politik. Jadi sangat tergantung pada parpolnya. Beruntung di PKB, ada empat anggota legislatif perempuan. Pada pemilu 2004, {affirmative action} mulai dijalankan parpol meski tidak utuh. Di PKB keterwakilan perempuan meningkat menjadi 8 orang. Hal seperti ini memang sangat tergantung parpol sebagai sumber rekrutmen caleg. Kalau kepengurusan partai sendiri tidak ada afirmative action, maka quota keterwakilannya pasti sedikit.
Kenapa perempuan butuh affirmative action?
Karena startnya tidak sama. Laki-laki lebih dulu berpolitik. Dulu politik bagi perempuan masih dianggap kotor dan tabu. Jadi untuk mengejar ketertinggalan perempuan dalam politik itu sangat dibutuhkan. Saya berpendapat, perempuan di parlemen cukup 30%. Yang penting mereka mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan parlemen sehingga setiap kebijakan itu tidak menjadi bias gender.
Anda cerita masa 1999 dan 2004. Bagaimana dengan pemilu 2009?
UU Pemilu 2009 sudah dikenal model {zipper sistem}, yakni sistem penentuan legislatif secara selang-seling. Meskipun kita tidak menganut zipper sistem murni, tapi model ini menghasilkan satu dari tiga caleg itu adalah perempuan. Soal keterwakilan perempuan pun sudah didorong dalam UU No.22 Tahun 2007 tentang Partai Politik yang disahkan 2008. UU itu mengatakan kepengurusan parpol mulai dari pendirian 30%-nya harus perempuan. Pada saat itu, partai-partai politik memang belum menyelenggarakan permusyawaratan tertingginya. Munas partai baru berlangsung pada 2010 atau 2011. Di sisi lain, Pemilu terselenggara pada 2009. Karena itu, tidaklah mengherankan jika sumber rekrutmen resminya belum ada karena pada 2009 itu parpolnya masih kepengurusan masif. Jadi kalau ada 10% saja sudah bagus. Artinya memang belum terlalu banyak perempuan yang terlibat dalam kegiatan partai politik.
Adakah pengaruh sistim suara terbanyak dengan keterwakilan perempuan?
Mahkamah Konstitusi melalui putusan No 22-24/PUU-VI/2008 menghapuskan sistem nomor urut dan digantikan dengan sistem suara terbanyak. Padahal disadari, caleg perempuan belum bisa jika harus {fight apple to apple} dengan caleg laki-laki. Inti persoalannya adalah belum siapnya sumber rekrutmen. Itulah penyebab belum terpenuhinya quota 30% bagi caleg perempuan.
Lantas bagaimana mengakomodir perjuangan mereka yang sia-sia?
Tidak sia-sia. Kami ambil hikmahnya saja. Meskipun banyak caleg perempuan yang gagal pada Pemilu tersebut namun setidaknya ada pembelajaran yang baik buat mereka. Di PKB mereka diakomodir menjadi tenaga ahli (TA). Dengan demikian, mereka tetap bergelut di dunia yang tidak jauh dari politik.
Apakah motivasinya untuk pengkaderan Pemilu 2014?
Jujur, kami membutuhkan mereka. Jika tidak dikader dari sekarang mereka akan ketinggalan pada Pemilu 2014. Saya pikir kedepam tantangannya akan lebih seru. Dan itu butuh ketangguhan perempuan dalam berpolitik.
Bagaimana strategi PKB dalam merekrut lebih banyak lagi caleg-caleg perempuan?
Sumber rekrutmennya diperbaiki. Kalau bisa lebih dari 30% kader perempuan dilibatkan dalam rangka kaderisasi. Itu penting. Saya sering bilang ke mereka agar jangan datangnya menjelang Pemilu saja. Setelah itu bubar entah kemana. Datanglah ke partai, berproses selama mungkin. Partai juga ada reward bagi mereka yang menunjukkan dedikasi. Memenuhi quota saja tidak cukup tanpa mampu menanamkan dedikasi.
Apa saja yang anda perjuangkan selama berkarier di parlemen terkait dengan hak-hak perempuan?
Saya terlibat dalam perumusan UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, Di situ kami mengupayakan affirmative action bagi penyelenggara pemilu. Hasilnya, 30% anggota KPU itu perempuan. Saya juga terlibat dalam perumusan UU No.2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, UU No.27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Demikian pula dengan UU Kewarganegaraan.
Jika dulu perempuan yang kawin dengan warga negara asing akan kehilangan hak kewarganegaraan anaknya, sekarang tidak. Setelah 18 tahun. anak boleh memilih hak kewarganegaraannya. Ini merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap perempuan. Saya juga terlibat penyusunan UU No.23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Kami mengupayakan agar diberikan akta gratis bagi anak yang baru lahir. Prolegnas 2010, juga sudah mencantumkan penyusunan RUU tentang pembantu rumah tangga. Kebetulan PRT di Indonesia kebanyakan perempuan. Saya akui negara selama ini agak luput dalam memberikan perlindungan kepada PRT.
Masih banyak kendala dalam persiapan penyelenggaraan Pilkada di 2010, Bagaimana anda menyikapi hal itu?
Soal Daftar Pemilih Tetap (DPT) memang masih dipermasalahkan. Saya pikir, KPU harus meyakinkan kita bahwa tidak ada masalah dengan DPT. KPU tinggal melakukan validasi dengan mengambil data lain sebagai pembanding. Semakin banyak pembanding akan menjadi semakin akurat.
Bagaimana dengan masalah anggaran Pilkada?
Sudah ada solusinya yakni dengan penyelenggaraan pilkada serentak di satu provinsi. Artinya ada yang sedikit mundur dan ada yang maju. Tak apa-apa seperti itu sambil menunggu lahirnya UU tentang Pilkada.
Bagaimana dengan pembentukan Panwas Pilkada yang masih bermasalah?
Komisi II sudah meminta jangan kemudian penyelenggara pilkada itu yang bermasalah. Jadi KPU dan Bawaslu harus bisa menyelesaikan persoalan antarmereka. Komisi II juga telah memberikan batasan waktunya, agar tidak berlarut-larut.
Pembahasan RUUK DIY sudah sampai sejauhmana?
Pembahasan RUUK DIY pada periode lalu sebetulnya telah sampai pada sikap yang sama. Semua partai berpendapat sama. Sebagai ketua panja, saya sudah berusaha mencari titik temu, apa yang menjadi usulan pemerintah dan usulan fraksi-fraksi. Tetapi memang belum sampai pada kesimpulan yang menyenangkan semua pihak. Tahun ini rencananya akan kita dibahas kembali. Baik pemerintah maupun DPR telah menyiapkan konsep pembahasannya. Nanti kita lihat, siapa yang lebih dulu.
Apakah DPR tetap akan mengusung konsep Paniradyapati dalam mempersiapkan RUUK DIY tersebut?
Itu salah satu solusi alternatif. Dengan konsep tersebut, bila nanti Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paku Alam IX berhalangan tetap, maka Paniradyapati sebagai perangkat atau lembaga kesultanan yang akan mengambil kebijakan pengisian kekosongan jabatan gubernur dan wakil gubernur. Demikian pula jika ternyata yang bersangkutan terbukti melakukan tindak pidana dalam konteks kepala daerah, maka dengan sendirinya jabatan kepala daerah harus dilepas. Sebetulnya tak perlu lagi ada keraguan terhadap RUUK DIY. Sebab Pasal 18 B UUD 1945 telah menegaskan bahwa negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Kita sudah memberikan kekhususan untuk DI Aceh, DKI Jakarta juga Papua.
Memang ada daerah-daerah yang butuh perlakuan khusus karena spesifikasinya. Jika kita berani mengatakan bahwa keistimewaan bagi Aceh, Papua juga DKI Jakarta itu konstitusional, maka jangan ragu untuk menyebut bahwa keistimewaan Yogyakarta itu juga konstitusional. Toh hal-hal lain bisa kita bicarakan.
Biodata
Nama lengkap : Dra Hj Ida Fauziah
Tempat/tgl lahir : Mojokerto 17 Juli 1967
Suami : Taufiq R Abdullah
Anak : 1.Syibly Adam Firmanda 2.Adil Haq Firmanda
Pekerjaan : Anggota DPR RI (1999 - sekarang).
Fraksi : Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)
Dapil : Jawa Timur VII
Keanggotaan/Jabatan di DPR/MPR RI:
1. Anggota Komisi VII dan Komisi II
2. Anggota Badan Pekerja MPR RI (Untuk Amandemen UUD 1945)
3. Keanggotaan Pansus DPR RI : Pansus Pertanahan, Panitia Anggaran, Pansus-Perubahan RUU Otonomi Daerah, Pansus Bangka Belitung, Pansus RUU PPK-PPHI, Pansus Perlindungan Anak, Pansus RUU Kewarganegaraan, RUU Pemerintahan Daerah dan perubahannya, RUU Pemekaran, RUU Adminduk, Pansus RUU Pemerintahan Aceh, Pansus RUU Parpol, RUU Susduk, RUU Pelayanan Publik dan lain-lainh
4. Jabatan di F-PKB: Bendahara F-PKB MPR RI, Sekretaris F-PKB DPR RI dan Ketua F-PKB DPR RI
© Copyright 2024, All Rights Reserved