Puluhan petani tebu dari Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta yang tergabung dalam Andalan Petani Tebu Republik Indonesia (APTRI) mendatangi Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag), Jakarta, Selasa (08/08). Mereka mempertanyakan nasibnya yang kian terpuruk karena gula tani (lokal) sudah tidak laku lagi sejak sebulan lalu.
“Kami menduga, tidak lakunya gula lokal karena imbas dari rencana penerapan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen pada gula tebu yang digulirkan pemerintah beberapa waktu lalu," kata Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen kepada politikindonesia.com di Kemendag, Jakarta, Selasa (08/08).
Dia menjelaskan, sebanyak 250.000 ton gula lokal yang tidak laku terjual di seluruh Indonesia itu merupakan hasil lelang periode kedua hingga periode keenam atau mulai pertengahan Juni hingga saat ini. Gula itu tak laku karena pedagang tidak ada yang mau membelinya.
“Walau demikian, hingga kini masyarakat tidak pernah mengalami kelangkaan gula. Karena di pasaran beredar luas gula rafinasi yang harganya lebih murah dari gula lokal," tegasnya.
Padahal, lanjut Soemitro, kebijakan PPN itu hingga saat ini masih menjadi polemik yang tak menentu. Namun, tetap saja pedagang tidak mau membeli gula lokal. Bahkan, pihaknya sudah beberapa kali melakukan lelang, namun pedagang yang diundang tidak ada yang mau datang.
"Kalau pedagang membeli mereka takut kena PPN 10 persen. Jadi, sekarang gula tani banyak menumpuk di gudang pabrik. Kondisi itu telah menambah penderitaan panjang petani tebu," ujarnya.
Dipaparkan, keadaan ini pun membuat petani semakin terpuruk. Apalagi, setelah tahun lalu dihadapkan dengan cuaca ekstrem dan tahun ini petani tebu harus menghadapi penjualan gula yang tak menentu. Padahal saat ini menjelang musim giling tebu 2017.
"Kondisi menyedihkan petani tebu itu justru dimanfaatkan oleh produsen dan pedagang gula rafinasi untuk merembes ke pasar konsumsi. Maka, kami meminta kepada pemerintah untuk tidak mengenakan PPN Gula untuk petani," imbuhnya.
Selain itu, kata Soemitro lagi, pihaknya juga meminta kepada pemerintah melalui Bulog untuk membeli gula petani dengan harga Rp11.000 per kilogram (kg). Karena awalnya, petani tidak keberatan dengan adanya ketetapan menteri perdagangan tentang HET Gula Konsumsi yang mencapai Rp12.500 per kg.
"Namun, ternyata gula milik mereka malah tidak laku. Semua itu terjadi karena adanya serbuan gula rafinasi. Padahal, keberadaan gula rafinasi dipasaran sudah menyalahi aturan. Karena seharusnya gula rafinasi tidak boleh diperjual belikan secara bebas dan harus digudangkan. Gula tersebut harus langsung didistribusikan ke industri," ucapnya.
Menurutnya, jenuhnya pasar gula lokal saat ini adalah imbas dari banyaknya impor untuk gula konsumsi pada tahun 2016 yang mencapai 1,6 juta ton. Padahal kekurangan kebutuhan hanya 400.000 ton.
"Sehingga pada akhir tahun 2016 sisa stok gula impor masih 1,2 juta ton. Kebutuhan gula konsumsi tahun 2016 sebesar 2,7 juta ton, sedangkan produksi 2,3 juta ton sehingga hanya kurang 400 ribu ton," urainya.
Diungkapkan, pihaknya meminta kepada menteri perdagangan untuk menyelesaikan masalah ini supaya gula tani laku dalam waktu dekat. Karena pihaknya sudah tidak sanggup untuk menunggu lama. Posisi petani tebu saat ini sangat sulit. Gula tani tidak laku sehingga kesulitan modal untuk biaya garap tanaman tebu usai ditebang.
"Karena kalau semakin hari terus tidak laku, maka petani akan berhenti tebang. Sehingga pabrik gula juga akan berhenti giling. Pabrik gula juga sedang mengalami kesulitan keuangan karena gulanya juga tidak laku. Kami sudah tidak dapat membendung keinginan para petani untuk unjuk rasa ke Istana Negara kalau persoalan ini tidak ada jalan keluar dan akan bertahan di Jakarta hingga 10 Agustus 2017," jelasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved