Ketidakpuasaan masyarakat yang muncul dalam bentuk aksi unjuk rasa dan gugatan ke pengadilan sebagai akibat pemberitaan media massa yang tidak obyektif dan cenderung menghakimi orang menjadi resiko yang harus ditangggung oleh pers ketika kebebasan pers dijalankan tanpa etika dan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.
Demikian pendapat ahli hukum pidana Prof Dr. Loebby Loqman menjawab pertanyaan Politikindonesia.com usai menjadi pembicara dalam Seminar “Mencari Format Baru Wajah Pers Indonesia” yang diselenggarakan Yayasan Lembaga Studi Informasi dan Media (SINEMA) di Makassar, Selasa (10/06/2003).
Menurut Loeby, gugatan-gugatan ke pengadilan yang muncul dari masyarakat terhadap pemberitaan pers yang dinilai merugikan merupakan sebuah resiko. Dia mencontohkan, di Amerika, sebuah penerbitan pernah mengalami kebangkrutan karena diputus oleh pengadilan untuk mengganti kerugian yang nilainya tinggi sekali.
Menanggapi gugatan perdata terhadap Majalah Tempo oleh dua pengusaha nasional Marimutu Sinivassan dan Tomy Winata, Loebby menilai, hal itu merupakan langkah yang tepat.
“Gugatan ke pengadilan itu merupakan cara terbaik,” tukasnya.
Menurut Loebby, semua pihak harus memberikan kepercayaan kepada pengadilan untuk memutuskan kasus-kasus yang melibatkan pers secara adil. “Kita harus percaya kepada pengadilan, kalau kita tidak percaya kepada pengadilan, terus kita mau percaya sama siapa lagi?” tandasnya.
Menanggapi usulan untuk melakukan amandemen terhadap UU No 40/tahun 1999 tentang Pers, menurut Loebby, hal itu bisa saja dilakukan jika dianggap UU tersebut memiliki kelemahan di sana-sini. “Silahkan saja dan bisa diajukan ke DPR,” kata Loebby.
Namun dia mengingatkan agar amandemen tidak dilakukan dalam suasana yang terburu-buru dan terlalu radikal. Dia mengakui, ada beberapa pasal yang perlu dirubah dan klausul baru yang perlu dimasukan untuk menghindari kebebasan yang berlebihan tanpa tanggungjawab.
Menyinggung soal kebebasan pers yang kini menuai banyak kritik, Loebby menjelaskan, secara umum memang tidak ada batasan kebebasan. Tetapi kebebasan dapat mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Artinya, mengeluarkan pendapat (lisan dan tertulis) adalah hak setiap orang, akan tetapi jangan sampai kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi suatu tindak pidana.
Dikatakan, bila sebuah pendapat merupakan tindak pidana maka harus dipertanggungjawabkan di depan pengadilan. Dalam hal lain, bila sebuah pendapat telah disebarluaskan (melalui media massa) dapat merugikan secara perdata, kata Loebby, pihak yang dirugikan dapat meminta pertanggungjawaban melalui peradilan perdata untuk menurut ganti rugi atas penyebaran pendapat tersebut.
Loebby juga mengingatkan, kebebasan pers yang dinikmati saat ini bukan tanpa resiko. Karena bisa saja terjadi pengahakiman oleh pers (trial by the press) terhadap sebuah peristiwa. Sehingga dalam pemberitaan, pers harus mempertimbangkan pihak yang mungkin dirugikan oleh pemberitaan pers tersebut.
“Penghakiman oleh pers merupakan hal yang amat terlarang di negara manapun termasuk negara dengan sistem demokrasi,”tukasnya.
Diakui Loebby, tanggungjawab pers memang harus dikembalikan pada masyarakat dimana pers itu berada. Sehingga aparat huikum diharapkan hanya menjadi fasilitator proses ketika terjadi sengketa antara pers dan mereka yang merasa dirugikan oleh pemberitaan.
Soal pertanggungjawaban ini, masih menurut Loebby, memang tidak diatur lagi secara khususus sehingga diatur secara umum melalui pertanggungjawababan hukum pidana.
Disisi lain, walau memakan waktu lama, bukan tidak mungkin ditempuh penyelesaian perdata, sehingga pihak yang dirugikan pun dapat melakukan gugatan perdata untuk mendapatkan ganti rugi akibat pemberitaan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved