Keberadaan media massa (cetak dan elektronik) sebagai institusi sosial, sesungguhnya merupakan ‘media komunikasi massa” yang berperan penting untuk memberikan “pencerahan” bagi terciptanya kehidupan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan kesadaran hukum bagi masyarakat. Konsolidasi negara (UUD 1945), UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, dam UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (kendati banyak dikritisi) sebetulnya memberikan kemerdekaan (kebebasan) bagi media massa secara bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, sekaligus berperan sebagai kontrol sosial dan perekat sosial.
Sebagai institusi sosial, khususnya dunia pers, memiliki peran signifikan dalam memajukkan kehidupan masyarakat dan bangsa. Signifikasi peran pers dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama terletak pada perannya untuk menghadirkan kembali realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang sehat bagi masyarakat. Informasi yang disajikan oleh pers, kedati juga melingkupinya, tetap saja informasi itu terkait dengan hasil interpretasi para penulisnya, sehingga tidak jarang informasi yang disajikan sering dikritisi dan dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
Hasil kinerja pers yang dikonsumsi oleh warga masyarakat, sehingga dalam interaksinya dengan negara dan masyarakat, menjadikan pers juga tidak mungkin terlepas dari kompleksitas dalam interaksi itu sendiri. Perkembangan dunia pers Indonesia akhir-akhir ini, secara fantastis telah memperlihatkan adanya interaksi yang mempengaruhi kesinambungan pers. Dalam memberitakan pelaksanaan agenda reformasi, meskipun mampu menggugah partisipasi publik, tapi hasilnya belum maksimal karena masih menampilkan informasi yang kadang tidak sesuai fakta di lapangan.
Sebelum runtuhnya kekuasaan orde baru,dominasi negara terhadap rakyat dan dunia pers, memang memotivasi pers agar tetap melaksanakan tugas jurnalisnya secara bebas yang dimanifestasikan melalui kontrol sosial dalam bentuk kritikan yang sifatnya membangun. Namun pada sisi lain, kritik yang dilancarkan pers baik dibidang hukum, demokratisasi, ekonomi dan sosial budaya, banyak dinilai oleh penguasa orde baru dapat menimbulkan instabilitas. Akibatnya, media massa, khususnya pers kembali dihadapkan pada kondisi terjepit. Ketidakberdayaan pers, dapat dilihat pada pembredelan Surat Izin Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Tempo, Editor dan Tabloid DeTik pada tahun 1994 lalu.
Berkaitan dengan keberadaan pers Indonesia yang menganut tanggungjawab sosial dan fungsi kontrol sosialnya, Djoko Prakoso (1988;82) berpendapat, sebagai berikut:
Fungsi pers sebagai sarana penerangan, pendidikan umum, kontrol sosial dan hiburan, maka pers menjadi wahana bagi pembinaan pendapat umum yang sehat. Di satu pihak, pers ikut menajamkan daya tangkap dan daya tangkap dan daya tanggap masyarakat terhadap langkah-langkah kebijaksanaan yang diambil pemerintah, dilain pihak , pers juga menjadi wahana untuk menyampaikan pendapat umum sebagai denyut jantung kepada pemerintah untuk dipakai sebagai bahan pengkajian atas tepat-tidaknya kebijaksanaan tersebut.
Eksistensi pers sebagai bagian dari jaringan komunikasi, diharapkan memerankan fungsinyab untuk memperlancar roda pembangunan nasional, bebas, dan bertanggung jawab. Dalam menyajikan berita, pers dituntut mengikuti mekanisme yang disepakati bersama, sebab bila tidak akan berhadapan dengan hukum, baik secara pidana maupun perdata atas pemberitaan yang tidak diduga melanggar ketentuan hukum.
KEMERDEKAAN DAN KEADILAN PERS
Pengakuan terhadap kemerdekaan pers dan hak warga negara untuk memperoleh informasi, merupakan salah satu hak asasi (HAM) yang harus dijamin keberadaannya dalam sutu negara hukum. Indonesia yang mencap diri sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), juga harus diimplementasikan untuk menghargai kemerdekaan pers dan hak rakyat untuk memperoleh dan mencari informasi yang benar. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 28-F UUD 1945, bahwa:
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudian Pasal 28-E ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat”. Rumusan Pasal 28-E ayat (3) UUD 1945, memng tidak secara eksplisit menyebut ‘kemerdekaan pers”, tetapi secara implisit kemerdekaan yang bebas dari tekanan oleh siapapun terkadang dalam kata “mengeluarkan pendapat”, yang merupakan bagian dari kemerdekaan untuk mengemukakan pendapat atau pikiran (freedom of expression). Olehnya itu, di tengah kemerdekaan pers mesti dipahami lebih cerdas oleh dunia pers dalam memposisikan dirinya di tengah pluralitas masyarakat.
Dalam setiap pemberitaan seyogianya lebih mengembangkan wacana melalui paradigma baru agar betul-betul mampu dicerna oleh warga masyarakat. Kemerdekaan media massa, bukan berarti merdeka atau bebas seenaknya membuat issu dan semacamnya yang dapat memancing emosi publik, tapi kemerdekaan yang dalam setiap pemberitaannya dapat dipertanggung jawabkan keabsahannya.
Berita yang disajikan tanpa mengandung data dan fakta yang akurat, tentu saja dapat berimplikasi pada kemungkinan terjadinya benturan antar “kemerdekaan pers” dengan “asas praduga tak bersalah” yang tampak laksana dua kutub yang bertolak belakang. Pers hendaknya menjelaskan bahwa pada akhirnya kesalahan tersangka/terdakwa akan dibuktikan di depan sidang pengadilan. Tetapi, pada sisi yang lain, pers juga membutuhkan “keadilan” melalui jaminan “kepastian hukum” agar dalam melaksanakan kemerdekaannya mencari berita atau menemukan berita, kemudian disiarkan kepada masyarakat dapat terlaksana dengan baik.
Regulasi yang didesain secara matang akan melahirkan interaksi kepentingan pers yang sinergis dengan kehidupan sosial warga masyarkat selaku penikmat berita. Sebab, warga masyarakt berhak mendapatkan informasi yang ‘sehat” sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 18 ayat (2) UU nomor 40 Tahun 1999 tentang pers (UU Pers), sehingga berita yang disajikan tidak dimotivasi oleh kepentingan tertentu akibat oknum wartawan yang memberitakan diberikan sesuatu. Seorang wartawan dituntut untuk menyajikan berita yang benar, objektif, dan memiliki komitmen moral untuk memberitakan peristiwa dan opini yang tidak menimbulkan persepsi negatif dari pembaca (warga masyarakat).
Kemerdekaan pers secara eksplisit diatur dalam Pasal 4 UU Pers, bahwa: a) Kemerdekaan pers dijamin hak asasi warga negara; b) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran; c) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional memp[unyai hak mencari, memperoleh dan menyebarkan gagasan dan informasi; d) Dalam mempertanggung jawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.
Ketentuan tersebut menunjukan bahwa pers harus bebas dari segala distorsi dan intervensi kepentingan dari luar. Konsekuensi pembatasan kemerdekaan pers, juga ditegaskan dalam pasal 18 ayat (1) UU Pers,
bahwa:
setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghabat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Selain sinergi jaminan kemerdekaan, tapi disisi lain juga pers harus memperhatikan nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Hal itu tercermin dalam pasal 17 UU Pers yang secara tegas mengisyaratkan, bahwa masyarakat tidak lagi diletakkan semata-mata dalam posisi pasif, tetapi secara proporsional menjadi “subjek” yang terlibat aktif mengontrol dan mengkritisi pers melalui pelembagaan media watch.
Olehnya itu, ada dua hal yang perlu dikritisi untuk direduksi ulang oleh pers di dalam memerankan fungi dan perannya sebagai kontrol sosial dan bertanggung jawab dalam memajukan kehidupan sosial masyarakat.
Pertama, masih ada pemberitaan, baik media cetak maupun media eletronik, yang cenderung mengabaikan akurasi data dan tidak menyentuh substansi pemberitaan. Misalnya, kurang mencerminkan realitas yang sesungguhnya atau data yang diperoleh tidak di-cek ricek dengan sumber lainnya.
Fakta yang diperoleh di lapangan langsung saja dijadikan berita sebelum di cek kebenarannya dengan pihak (sumber) terkait, sementara sebagian redaktur yang mestinya memegang peran sebagaai “gatekeeper” sering mengabaikan fungsi cek and ricek. Bahkan, ada yang memilih sumber berita dari orang yang kurang kepabel dan hanya karena bergelar akademik, publik pigur, atau karena ada hubungan emosional dengan sumber bersangkutan.
Model pemberitaan yang tidak berdasarkan fakta, sadar atau tidak sadar, pekerja media massa telah mengabaikan keidah jurnalistik atau kode etik jurnalistiknya sendiri. Seorang pekerja media (wartawan) yang ideal sekaligus demokratis, mestinya menolak pemberitaan yang bisa menimbulkan keresahan dan salah tafsir dari pembaca. Terlebih bila itu faktanya tidak akurat, tidak lengkap, dan tidak di-cek and ricek secara berimbang. Konsep ini merupakan “doktrin” yang harus dipedomani dan dipegang teguh oleh setiap keperja media dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kedua, berita yang disajikan masih ada yang mencampurnya dengan opini sang penulis berita (wartawan). Berita diramu seolah-olah betul dengan mamasukkan “opini” sang yang menulis berita. Belum lagi “judul” yang ditampilkan untuk menggoda pembaca, tapi isi beritanya tidak sejalan dengan judul. Ada kesan cara pemberitaan yang disetting seperti itu. Dipengaruhi oleh obsesi agar media bersangkutan dinilai sebagai yang “pertama” memberitakannya. Tujuannya, untuk menarik perhatian pembaca yang kadang-kadang juga “senang” membaca berita sensasi.
Pers sebagai bagian dari jaringan komunikasi, diharapkan memerankan fungsinya sebagai media “yang bebas dan bertanggung jawab”. Demikian pula, dalam menyajikan berita, pers dituntut mengikuti mekanisme dan ketentuan hukum, sebab tidak menutup kemungkinan pekerja pers yang tidak mematuhi kaidah hukum yang berlaku dituntut oleh pihak yang dirugikan untuk mempertanggung jawabkan pemberitaan yang dinilai mengandung unsur-unsur delik pers.
Terlepas dari kemungkinan adanya pemberitaan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, tapi sosok seorang wartawan sangat memegang peran penting dalam mengimplementasikan media massa yang sehat dan bertanggung jawab. Wartawan diharapkan memiliki kemampuan untuk meregulasi fungsinya, sekaligus memanifestasikan keseimbangan antara harapan membaca, penonton dan pendengar (warga masyarakat) dengan kepentingan pembangunan. Rasionalisasi dan terbukanya aksesibilitas fungsi dan pers (wartawan) dan segala yang melingkupinya membebaskan diri dari keterkaitannya dengan kepentingan tertentu.
DEMOKRATISASI DUNIA PERS
Editorial harian Media Indonesi (4 Juni 20030 begitu baik menggambarkan wujud “demokratisasi secara pragmatis”, sebagai “peradaban politik” yang sangat mahal harganya, baik dalam arti ekonomi maupun waktu pencapaian demokratisi. Kenapa demokrasi begitu mahal, antara lain karena harus memnepuh perjalanan “waktu” yang cukup panjang dan berliku . Di dalamnya butuh kesabaran dalam merefleksikan ‘perbedaan”, termasuk bagaimana menghargai perbedaan pendapat sebagai suatu keniscayaan.
Di dalam demokrasi tentu saja bermksud mengejar “hasil’, tetapi hasil yang ingin diraih itu hendaknya tidak dengan menghalalkan berbagai cara yang justru tidak demokrasi. Jika pun dalam demokrasi pada akhirnya mengahsilkan “pemenang atau pecundang”, tapi hendaknya dimaknai bahwa kalah atau menang seharusnya diterima secara elegan oleh semua pihak. Itulah yang diidealkan yang terjadi dalam pemilu anggota legislatif dan Pemilu presiden dan wakil presiden pada tahun 2004, sebagai salah satu lembaga demokrasi yang signifikan menghantar rakyat menuju pencapaian rasa keadilan dan kesejahteraan.
Pada aspek lain, demokratisasi juga mahal dari “aspek ekonomi riil” karena menelan ongkos yang besar. Misalnya, membayar gaji anggota DPR dan honor bagi anggota DPRD, entah ia bekerja atau sama sekali tidak bekerja, bersidang atau tidak bersidang, terutama untuk membicarakan atau mengkoordinir kepentingan rakyat, tapi gaji dan honor tetap jalan. Begitu pula, biaya penyelenggaraan dua pemilu tahun 2004 yang diharapkan melalui proses demokrasi yang benar, juga menelan ongkos yang tidak sedikit.
Saat Pemilu 1997, biayanya hanya sekitar Rp. 214,5 miliar, tapi Pemilu pertama di era reformasi pada tahun 1999 justru biaya membengkak enam kali lipat menjadi Rp. 1,214 triliun. Untuk Pemilu 2004, mulanya Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada bulan Maret 2003 menganggarkan biaya sebersar Rp. 3,02 triliun (meningkat sebesaar 130% dari biaya Pemilu 1999). Kemudian pada bulan mei 2003 tiba-tiba KPU menurunkan anggaran Pemilu hanya sebesar Rp. 2,9 triliun. Tapi anehnya, tiba-tiba pada dengan pendapat dengan Komisi II DPR pada selasa 3 Juni 2003, KPU justru menaikkan anggaran PEMILU 2004 Rp. 3,458 triliun (Media Indonesia), 4 Juni 2003).
Perubahan anggaran yang kemudian diturunkan, dan kembali dinaikkan lebih tinggi dari sebelumnya, menunjukkan betapa hitung-hitungan ongkos demokrasi begitu sangat mahal. Terjadinya dua kali perubahan anggaran Pemilu 2004, membutuhkan penjelasan yang cermat kepada publik agar tidak terjadi salah tafsir dan kecurigaan bagi KPU selaku penyelenggara Pemilu. Di sinilah dituntut peranan pers untuk meregulasi secara sehat dan bertanggung jawab terhadap proses hajatan demokrasi setiap lima tahunan.
Begitulah proses demokrasi yang secar pragmatis sangat mahal, baik dari aspek waktu maupun aspek ekonomi. Jadi pertanyaan, apakah penetapan anggaran yang berubah-ubah bukan karena diakal-akali? Ataukah memang karena angota KPU (pusat) yang melulu diisi oleh orang-orang politik dan hukum, sehingga tidak mahir menghitung anggaran Pemilu? Itulah sebabnya, untuk mengontrol proses demokrasi (Pemilu 2004) tentu juga butuh ongkos yang tidak sedikit.
Keberadaan dunia pers memiliki peran yang signifikan untuk membantu mentransformasikan partisipasi politik massa menjadi lebih rasional(kritis). Dalam teori demokrasi modern, pers yang lengkap dengan platform kebebasannya merupakan indikator dari demokrasi (Amirudin, Suara Pembaruan 19 Juli 2001). Pengalaman dinegara maju menunjukkan, demokrasi terjadi karena ada proses proses negosiasi sosial antarinstitusi (sosial, politik, ekonomi, dan kultur), yang didukung oleh informasi bebas.
Untuk meningkatkan peran pers dalam proses demokrasi, hendaknya mulai meninggalkan paradigma lama yang sering dikritisi oleh pengamat. Pilihan seperti itu tentu amat rasional, karena informasi yang diberikan pers dapat mencukupi kemantapan perilaku politik yang logis. Setidaknya, dunia pers harus mampu mengantisipsi konflik individu antar para elit politik yang dilempar ke ruang publik. Sekalipun tidak dipungkiri, konflik antar komunitas pun cukup intensif terjadi, sehingga pers dan partai politik (parpol) sebagai infrastruktur politik harus mengelaborasinya menjadi “konflik gagasan”. Minimal menjadi lebih rasional kepada publik.
Para politisi (pimpinan parpol) mulai berhasil mengkonstruksikan isu untuk kepentingan Pemilu 2004, sehingga menarik untuk menjadikan berita. Bahkan, akan meningkatkan popularitasnya untuk keperluan akumulasi dukungan politik, baik pemilihan lagislatif maupun pemilihan presiden dan wakil presiden. Tapi celakanya, sebagian pers (wartawan) tidak menimbang dengan seksama apakah isu itu memuat nilai-nilai kesetaraan. Mereka kadang terjebak dalam permainan politisasi yang sedang membangkitkan sentimen primordial. Padahal, yang diperlukan adalah sensitivitas pers untuk melakukan “self-censorship” dengan membuang muatan perpecahan dalam berita yang disajikan.
Amirudin, dosen Ilmu Komunikasi FISIP Undip Semarang dalam artikelnya di Suara Pembaruan (19 Juli 2001) menilai bakwa: “salah satu hal yang bisa menjadi kendala bagi pers dalam meningkatkan kualitas demokrasi, bukan terletak pada soal kebebasan pers, melainkan etika pemberitaan”. Memang, kebebasan pers dirasakan sejak kepemim pinan BJ Habibie. Pers begitu leluasa memberitakan apa pun, tanpa begitu banyak menghadapi resistensi dari mana pun. Namun, yang krusial adalah bagaimana pers mampu mengkalkulasi implikasi sosial politik dari berita yang dimuatnya. Pers diminta meningkatkan kepekaannya ketika berada dalam situasi komplikasi yang terparah dengan menguatnya sentimen primordialisme berbasis kelas dan kultur.
Dalam pasal 73 ayat (1) UU nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan, bahwa: “Media elektronik dan media cetak memberikan kesempatan yang sama kepada peserta Pemilu untuk menyampaikan tema dan materi kampanye Pemilu”. Begitu pula dalam ayat (2), pers harus memberikan kesempatan yang sama kepada peseta Pemilu untuk memasang iklan Pemilu.
Mampukah media massa kita merefleksikan keseimbangan baik semua parpol peseta Pemilu untuk menyampaikan pesan-pesannya? Menjawabnya memang tidak mudah, karena dunia pers juga kadang tidak bebas nilai dalam menyajikan pesan-pesan politik. kenyataan yang selama ini terjadi memberi pelajaran, betapa Indonesia yang sedang berproses menuju demokrasi perlu dimaknai oleh dunia pers sebagai upaya ‘pencerahan” untuk keluar dari krisis multi dimensi. Pers tidak harus bangga oleh kebebasannya karena dapat membuatnya lupa pada peran fungsinya, terutama dalam upaya meningkatkan kualitas demokrasi.
HAK JAWAB
Informasi yang disajikan oleh wartawan melalui pemberitaan, kendati juga telah merujuk pada kaidah ko unikasi dan kaidah hukum yang melingkupinya, tapi tetap saja informasi yang disajikan memerahkan kuping aparat pemerintah, atau menimbulkan opini publik secara berlebihan.
Namun, pada sisi lain juga diakui bahwa keberadaan pers sebagai institusi sosial, pada hakekatnya memiliki peran yang signifikan dan memajukan kehidupan masyarakat dan bangsa. Signifikasi peran pers terutama terletak pada perannya dalam menghadirkan kembali realitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat dalam bentuk kemasan informasi yang kemudian dijadikan referensi oleh warga masyarakat.
Berita pers yang kemungkinan merugikan seseorang atau sekelompok orang yang kadang ditanggapi dengn emosi, hendaknya dihindari karena begitu luasnya pilihan dalam menanggapi pemberitaan pers sepeti penggunaan “hak jawab”. Namun, keengganan sebagian warga masyarakat menggunakan “hak jawab” menunjukkan , bahwa warga masyarakat belum memaknai betul substansi pemberitaan hak jawab. Mungkin warga masyarakat menilai, bahwa kendati telah menjawab tapi tetap tidak dapat memulihkan kerugian yang diderita pada keadaan semula yang telah terlanjur diketahui publik. Padahal, hak jawab merupakan instrumen bagi warga yang dirugikan oleh pemberitaan pers untuk menjelaskan posisi yang sebenarnya.
Seandainya “hak jawab” yang digunakan tidak memberikan kepuasan, dapat saja melaporkannya kepada polisi atau melakukan gugatan perdata ke pengadilan . tentu saja tidak seperti yang dilakukan oleh Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN) pada bulan Mei 1997 lalu yang mengajukan “somasi” kepada The Jakarta Post, meskipun The Jakarta Post telah minta maaf atas kekeliruan/kekhilafannya melalui media yang sama. Sikap yang siambil oleh IPTN ini sebenarnya terlalu berlebihan dan tidak proporsional.
Demikian pula, putusan PTUN Jakarta yang memenangkangugatan Majalah Tempo karena SIUPP-nya dicabut oleh Menteri Penerangan pada tahun 995 (tapi putusan itu dibatalkan oleh MA di tingkat Kasasi), sebetulnya memberikan angin segar dalam merebut kembali “kewibawaan lembaga peradilan Indonesia”.Putusan hakim PTUN Jakarta (meskipun dibatlakan oleh MA), hendaknya dijadikan kebanggaan oleh para hakim, karena putusan itu mengandung”nilai-nilai keadilan” yang memihak pada kepentingan publik ang akan dikutip dan direferensi oleh penganalisis hukum di negara ini. Putusan itu tergolong “the right decision on right time” (pengambilan putusan yang benar di waktu tepat) telah merintis suatu tradisi baru dalam sistem hukum Indonesia.
Dengan pokok-pokok pikiran yang bisa dijadikan catatan awal dan mendasar tentang bagaimana “mencari format baru wajah pers Indonesia” di era-reformasi ini. Sebab bagaimana pun, hak-hak pers untuk mendapatkan informasi yang objektif yang nantinya disampaikan pada publik hendakya tidak dibatasi.
Beragamnya tampilan pers, tentu bukan sesatu yang telah selesai begitu saja, tetapi menjadi sebuah wacana yang terbuka dikritisi dan diuji kebenarannya untuk memajukan pers. Pada aspek lain, pers juga diharapkan menghindari pemberitaan yang dapat menyesatkan masyarakat dalam menafsirkan dan memahami suatu kejadian. Informasi yang disampaikan haruslah mampu melahirkan kepercayaan masyarakat bahwa berita yang disajikan itu memang sesuatu fakta. Inilah yang perlu direnungkan oleh insan pers agar kepercayaan masyarakat terhadap pers nasional tetap terpelihara.
© Copyright 2024, All Rights Reserved