Meski gerakan literasi sekolah telah dicanangkan sejak 2015 lalu, budaya membaca di kalangan siswa Indonesia secara umum masih rendah. Setidaknya itu yang didapat dari berbagai studi soal minat baca di berbagai negara termasuk Indonesia.
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ledia Hanifa Amaliah mengkritisi hal ini. "Kalau programnya sudah ada tetapi budaya membacanya masih dilaporkan rendah berarti perlu ada evaluasi program secara menyeluruh. Bagaimana sarana prasarana pendukung programnya. Bagaimana koordinasi lintas kementriannya dan terutama bagaimana implementasi di lapangan," ujar dia di Jakarta, Selasa (27/02).
Politisi perempuan dari Fraksi PKS itu mengingatkan bahwa mengasah budaya membaca pada siswa akan sangat mempengaruhi kualitas generasi muda masa depan. Membaca akan membantu siswa memperluas wawasan, menambah ilmu, mengolah pikiran dan menjadi batu pijakan sebelum menghasilkan karya tulis.
"Tetapi budaya ini harus disiapkan, ditumbuhkan, diasah, dibimbing dan diberi sarana prasarana yang memadai. Tidak bisa hanya diberi tugas, himbauan lalu diharapkan tumbuh menguat dengan sendirinya."
Selain itu, urai Ledia, selama ini budaya baca seringkali hanya disederhanakan pada ukuran "minat baca". Padahal budaya baca memiliki aspek lebih luas dan mendalam termasuk pada kemudahan akses, pembiasaan diri, contoh dari lingkungan, dan tentu saja kebijakan yang mendukung.
“Peraturan Menteri Pendidikan No 23 tahun 2015 memberikan trobosan penting dengan mewajibkan setiap hari ada 15 menit waktu membaca sebelum kegiatan belajar berlangsung, tetapi agaknya belum terealisir dengan baik. Mungkin karena belum tersedia perpustakaan atau ada perpustakaan tetapi buku-bukunya kurang. Bisa juga karena kegiatan ini tidak rutin dilakukan, tidak ada evaluasi atau bisa jadi karena tenaga pendidik dan orangtua sendiri tidak memberikan contoh gemar membaca," imbuh dia
Atas alasan itu, Ledia meminta pemerintah untuk membuat evaluasi secara menyeluruh dan melakukan penguatan program gerakan literasi sekolah tersebut. Buku-buku bagi sekolah perlu diperbanyak, begitu juga perpustakaan keliling untuk menjangkau masyarakat pedalaman.
Para guru perlu diberi pelatihan dan penguatan program literasi. Bahkan orangtua pun perlu digandeng untuk sama-sama membangun budaya baca ini menjadi kebiasaan siswa.
Tak cukup itu, untuk melengkapi semua desain gerakan literasi sekolah ini, Ledia mengingatkan pentingnya membiasakan evaluasi program secara rutin dan berkala. Baik evaluasi dari guru kepada siswa maupun dari dinas pendidikan kepada sekolah.
“Bagi siswa bisa saja diminta menceritakan kembali bacaannya di depan kelas atau dituliskan. Libur sekolah bisa diberi tugas membaca buku, bedah buku atau resensi buku. Kunjungan pendidikan bisa dilakukan ke perpustakaan daerah. Dan sekolah pun bisa memiliki laporan tahunan berapa dan apa saja buku-buku yang dibaca Dengan begini kita berharap ke depannya akan terjadi peningkatan budaya membaca yang lebih luas dan terukur,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved