Kasus kematian Angeline, bocah perempuan berusia 8 tahun yang ditemukan terkubur bersama boneka di belakang rumah ibu angkatnya di kawasan Denpasar, Bali, menyentak perhatian publik. Ditengah upaya keras Polda Bali untuk mengungkap misteri kematian itu, banyak fakta janggal terkait bocah perempuan itu. Salah satunya, terkait proses adopsinya
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meminta masyarakat untuk memberi waktu kepada Polda Bali untuk mengusut tuntas. Masyarakat tak perlu terpengaruh dengan tuding menuding yang muncul terkait meninggalnya Angeline.
“Saya mohon dengan segala hormat, meminta masyarakat untuk tidak mencampur-adukkan masalah ini. Biarkanlah polisi mengurusnya satu persatu. Saya juga meminta masyarakat untuk tidak hakimi keluarganya," ujar Sekretaris Jenderal KPAI, Erlinda kepada politikindonesia.com di Jakarta, Senin (22/06).
Erlinda mengatakan, KPAI juga menemukan beberapa fakta, terkait kasus tersebut. Di antaranya kejanggalan dalan proses adopsi Angeline yang diketahui data adopsi hanya berupa akta notaris. Proses adopsi Angeline dianggap tidak sah, karena baru sampai pada tahap awal.
“Surat Pengakuan Pengangkatan Anak yang dikeluarkan notaris kepada orangtua kandung dan orangtua angkat Angeline tidak kuat untuk dijadikan dasar pengadopsian. Karena surat yang dianggap sah itu harus dikeluarkan oleh pengadilan," ujarnya.
Dijelaskan, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, proses untuk adopsi sangat ketat persyaratannya. Proses itu harus disertai dengan catatan sipil, surat asal-usul anak, surat domisili, laporan perkembangan anak, surat pernyataan akan memberi dua kewarganegaraan bagi pengadopsi luar negeri.
“Bahkan, dalam perjanjian adopsi yang dibuat oleh orangtua angkat dan orang tua kandung, Angeline baru boleh mengetahui dan bertemu orangtua kandungnya setelah berusia 21 tahun. Jadi dari sejak lahir sampai dia meninggal di usia 8 tahun belum pernah bertemu orangtua kandungnya. Karena Angeline diadopsi sesaat setelah dilahirkan oleh ibu kandungnya," paparnya.
Kepada Elva Setyaningrum, perempuan kelahiran Palembang, 17 Maret 1978 ini menjelaskan panjang lebar, kesalahan dalam proses adopsi Angeline yang mengakibatkan adopsi itu tidak sah secara hukum. Erlinda juga membeberkan proses adopsi anak yang benar, dan harapannya agar kasus kekerasan terhadap anak tidak terulang lagi. Berikut petikan wawacaranya.
Apa alasan anda menyebut proses adopsi Angeline tidak sah dan menyalahi hukum?
Berdasarkan tata cara pengangkatan anak yang tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Nomor 110 Tahun 2009, proses pengangkatan Angeline sebagai anak oleh Margriet dan suaminya menyalahi aturan.
Pasalnya, proses pengangkatan anak itu, tidak melalui Lembaga Pengasuh Anak (LPA). Pada Pasal 11 Permensos itu dinyatakan, bahwa pengangkatan anak oleh calon orangtua angkat yang salah satunya warga negara asing (WNA) harus melalui LPA.
Selain itu, proses pengangkatan Angeline sebagai anak baru setengah jalan. Proses itu terhenti di notaris, tak melibatkan Kementerian Sosial dan Pengadilan. Padahal notaris hanya bagian kecil proses penguatan dokumen dan persyaratan. Ada pihak yang pakai notaris, ada yang tidak.
Bahkan sebelum mengadopsi Angeline, Margriet dan suaminya telah memiliki dua anak kandung. Padahal dalam persyaratan disebutkan pasangan calon pengadopsi, tidak atau belum memiliki anak atau hanya boleh memiliki satu anak. Hal inilah yang membuat proses pengadopsian Angeline ilegal.
Bagaimana proses adopsi anak yang benar secara Undang-Undang?
Proses adopsi anak yang sah, sebenarnya memakan waktu cukup panjang. Apalagi, jika status pengadopsi merupakan pasangan WNA atau salah satunya WNA seperti dalam kasus Angeline.
Peraturan tentang adopsi anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang didukung oleh Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 yang dijelaskan lebih rinci dalam Permensos Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
Peraturan itu menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dan tidak boleh memutus hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya. Setelah semua hal di atas terpenuhi, masih ada syarat berikutnya yang harus dipenuhi oleh pasangan calon orangtua angkat.
Di antaranya, mereka harus dalam kondisi sehat jasmani dan rohani, berumur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun, memiliki agama yang sama dengan calon anak angkat.
Selain itu, memiliki catatan kelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan kejahatan, berstatus menikah paling singkat lima tahun serta tidak merupakan pasangan sejenis. Bahkan, orang tua angkat juga diharuskan belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak, mampu secara ekonomi dan sosial, memperoleh izin tertulis dari orang tua atau wali serta memperoleh persetujuan anak dan membuat pernyataan tertulis di atas kertas bermaterai bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik anak, kesejahteraan, dan perlindungan anak.
Bagaimana dengan masalah adopsi Angeline yang diketahui ayah angkatnya seorang WNA?
Dalam kasus Angeline, persyaratan untuk pengangkatan anak sebetulnya lebih rumit lagi. Karena ayah angkat Angeline merupakan pria berkewarganegaraan Amerika Serikat. Selain melengkapi dokumen yang diwajibkan oleh pemerintah Indonesia, calon orangtua angkat juga harus mendapatkan izin dari negara asalnya.
Proses pengangkatan anak juga harus melalui LPA, paling tidak berupa rekomendasi. Izin tersebut merupakan persetujuan pengangkatan anak secara tertulis dari pemerintah negara asal suami atau istri melalui kedutaan atau perwakilan negaranya yang ada di Indonesia. Calon orangtua angkat yang WNA itu juga harus mendapatkan persetujuan dari keluarga suami atau istri yang dilegalisasi di negara asalnya.
Bahkan, orangtua angkat harus membuat pernyataan resmi yang berisi kesediannya untuk melaporkan perkembangan anak kepada Kementerian Luar Negeri melalui perwakilan Indonesia setempat setiap tahun hingga anak berusia 18 tahun. Orangtua angkat pun harus bersedia dikunjungi perwakilan Indonesia setempat untuk melihat perkembangan anak sampai berusia 18 tahun.
Apa lagi yang harus dilakukan calon orangtua angkat, setelah dokumen lengkap?
Setelah dokumen lengkap, calon orangtua angkat mengajukan permohonan izin pengasuhan anak kepada Kepala Dinas Sosial Provinsi dengan melampirkan seluruh persyaratan. Kemudian, Kepala Dinas Sosial akan menugaskan pekerja sosial dan LPA untuk menilai kelayakan calon orangtua angkat dengan melakukan kunjungan ke rumahnya.
Jika dinilai layak, Kepala Dinas Sosial akan mengeluarkan Surat Izin Pengasuhan Sementara dan pekerja sosial akan melakukan bimbingan dan pengawasan selama pengasuhan sementara.
Setelah proses itu selesai, pekerja sosial dan LPA pun kembali melakukan kunjungan rumah untuk mengetahui perkembangan calon anak angkat selama diasuh oleh calon orangtua angkat. Dari hasil pengawasan dan penilaian kelayakan yang dilakukan oleh pekerja sosial terhadap calon orangtua akan dibahas Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak (PIPA) di Provinsi.
Proses selanjutnya, Kepala Dinas Sosial akan mengeluarkan surat rekomendasi untuk izin pengangkatan anak agar dapat diproses lebih lanjut ke Kementerian Sosial. Ketika berkas sudah diterima oleh Menteri Sosial atau diwakili oleh Direktur Pelayanan Sosial Anak, penilaian kelayakan calon orangtua angkat tersebut akan dibahas oleh Tim PIPA di Kemensos.
Tim PIPA selanjutnya mengeluarkan surat keputusan tentang pertimbangan pengangkatan anak. Kemudian Menteri Sosial mengeluarkan keputusan tentang izin pengangkatan anak untuk ditetapkan di pengadilan. Kalau permohonan ditolak, anak akan dikembalikan ke LPA.
Kalau pengajuan pengangkatan anak ke pengadilan bagaimana prosesnya?
Pengajuan pengangkatan anak ke Pengadilan harus dilakukan oleh calon orangtua angkat atau kuasanya. Caranya dengan mendaftarkan permohonan pengangkatan anak ke pengadilan. Jika pengadilan sudah menetapkan dan proses pengangkatan anak telah selesai, maka orangtua angkat harus melapor dan menyampaikan salinan penetapan pengadilan tersebut ke Kementerian Sosial dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten atau Kota.
Langkah terakhir, Kementerian Sosial akan mencatat dan mendokumentasikan pengangkatan anak tersebut. Barulah proses pengangkatan anak resmi secara hukum.
Kasus memilukan yang dialami Angeline, apa tanggapan Anda?
Kasus pembunuhan terhadap Angeline merupakan bukti perlindungan anak di Indonesia masih minim. Kasus Angeline ini merupakan salah satu dari berbagai kasus, seperti praktik human trafficking, oknum rumah sakit yang terlibat dalam perdagangan anak, serta minimnya landasan hukum untuk menyelesaikan kasus anak.
Kasus pembunuhan Angeline ini hanya bagian kecil dari sekian banyak kasus anak yang terjadi di Indonesia. Jadi, kasus seperti ini harus segera dituntaskan. Kalau pihak kepolisian tidak bisa menuntaskannya maka bisa menjadi bom waktu bagi integritas instansi kepolisian.
Apa upaya KPAI agar kasus serupa tidak terulang lagi?
Kami sudah meminta Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) untuk menayangkan iklan layanan masyarakat tentang perlindungan dan kasih sayang anak di media massa, khususnya televisi dan radio.
Iklan tersebut paling tidak bisa dibuat selama 3 menit dan ditayangkan pada waktu utama (prime time) atau setiap jam-jam tertentu agar masyarakat bisa mengetahui bagaimana pengasuhan anak yang berkualitas, apa itu perlindungan anak dan apa itu pemenuhan hak anak. Sehingga masyarakat mengetahui haknya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved