Konflik di Maluku yang sudah berlangsung lebih dari tiga tahun mulai menampakan jalan terang menuju perdamaian. Benih perdamaian itu muncul dari keinginan delegasi kelompok Islam dan Kristen Maluku yang berunding di Malino, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, sejak Senin (11/02/2002) dan akan berakhir Selasa (12/02/2002).
Dua pihak yang bertikai, sama-sama mengharapkan penghentian konflik dijadikan syarat mutlak untuk menyelesaikan pertikaian horizontal di Maluku.
Bersamaan dengan itu, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas, kemudian dilanjutkan dengan rehabilitasi untuk menciptakan kehidupan damai secara permanen.
Kesepakatan dicapai setelah masing-masing kubu melakukan pertemuan tertutup secara terpisah dengan mediator. "Kedua kelompok, Islam maupun Kristen sepakat menghentikan konflik selama hampir empat tahun itu di meja perundingan pertemuan untuk Maluku di Malino," kata Menko Kesra Jusuf Kalla dalam jumpa pers Senin kemarin.
Hadir dalam konferensi pers itu, sembilan anggota tim mediator, antara lain Menko Polkam Soesilo Bambang Yudhoyono, Gubernur Sulsel H.Z.B. Palaguna, Gubernur Maluku Saleh Latuconsina, Pangdam Pattimura Brigjen TNI Mustopo, Kapolda Maluku Brigjen Pol. Sunarko Danu Ardianto, Ketua DPRD Maluku Z. Sahuburua, Wali Kota Ambon M.J. Papilaya, dan Wagub Maluku Bidang Kesra Paula Renyaaan.
Menurut Jusuf Kalla, meski pembicaraan cukup alot, yang penting pertemuan itu disetujui kedua faksi. "Besok (hari ini) tidak ada lagi hal-hal yang mendetail dibicarakan, sebab inti pertemuan telah disepakati," katanya. "Akan ada tim investigasi independen yang akan menangani penyelesaian nonteknis di Ambon, dan tim itu dari luar Maluku sesuai permintaan kedua kubu."
Menko Polkam menambahkan, proses perundingan Malino mendapat dukungan dunia internasional, sebab sebelumnya ia telah bertemu duta besar Amerika, Inggris, dan Belanda. "Dunia internasional mendukung proses ini. Saya juga sudah bertemu tokoh-tokoh agama," katanya.
Ketua Delegasi Kelompok Islam Thamrin Ely mengatakan, penghentian konflik akan diikuti penegakan hukum dan rehabilitasi fisik dan sosial di Maluku. Menurut dia, tak mungkin menegakkan hukum sebelum konflik berakhir.
Mengenai isu Republik Maluku Selatan (RMS) yang sebelumnya menjadi isu utama, menurut Thamrin, akan dibentuk tim investigasi untuk menyelidiki peran RMS selama ini. "Saya kira bukan hanya RMS yang akan jadi sasaran investigasi, melainkan juga FKM (Forum Kedaulatan Maluku)," katanya.
Thamrin menambahkan, keinginan paling krusial kelompok Islam adalah pengungkapan potensi konflik dan permasalahannya, terutama insiden 19 Januari 1999 yang memicu bentrok panjang itu.
Keberhasilan perundingan, kata Thamrin, juga sangat tergantung pemerintah selaku mediator. Pasalnya, perundingan seharusnya tidak hanya melibatkan dua kelompok, melainkan tiga pihak, yakni kubu Kristen, Islam, dan pemerintah.
Hal senada dikemukakan Ketua Delegasi Kelompok Kristen Tonny Pariela. Menurut dia, keterlibatan pemerintah sangat menentukan hasil akhir perundingan. Keterlibatan itulah, katanya, yang membedakan perundingan kali ini dengan perundingan-perundingan sebelumnya.
Setelah dicapai kesepakatan penghentian kekerasan, langsung dibentuk dua komisi, yakni Komisi Keamanan dan Hukum, yang akan membahas masalah penyerahan senjata, kedamaian antardesa, penarikan kelompok-kelompok luar, pembentukan tim pengawas, dan membicarakan sanksi terhadap pelanggaran kesepakatan. Sementara itu, Komisi Ekonomi akan membahas masalah sosialisasi, rehabilitasi, dan beberapa masalah terkait lainnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved