Rendahnya daya saing pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), tingginya ongkos logistik dan transportasi menjadi penyebab terhambatnya kesiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 mendatang.
Rendahnya daya saing pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM), tingginya ongkos logistik dan transportasi menjadi penyebab terhambatnya kesiapan Indonesia menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada 2015 mendatang.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Saut Hutagalung mengatakan, Indonesia harus siap melaksanakan kondisi ini. Sebab kawasan ASEAN akan menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi.
“Aliran barang, jasa dan investasi akan bergerak bebas sesuai dengan kesepakatan ASEAN,” kata Saut Hutagalung kepada politikindonesia.com, usai diskusi bertema "Rencana Penguatan UMKM Melalui Penerapan SNI dengan Telah Dibentuknya Lembaga Sertifikat Produk (LSPro)", di Kantor KKP, Jakarta, Jumat (25/04).
Menurut Saut, pada ASEAN Summit ke-9 tahun 2003, sejumlah sektor yang menjadi prioritas dalam rangka menuju MEA 2015 juga sudah disepakati dan ditetapkan. Ada 11 priority Integration sectors (PIS). Namun, dalam perkembangannya pada 2006 bertambah menjadi 12 PIS. Terdiri atas 7 sektor barang dan 5 sektor jasa.
"Yaitu produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, pariwisata dan jasa logistik," kata Saut.
Saut menjelaskan, saat ini tingkat keunggulan komparatif dan kompetitif yang berbeda antarnegara anggota ASEAN akan berpengaruh dalam menentukan manfaat MEA 2015 di antara negara ASEAN. MEA akan menciptakan pasar yang mencakup wilayah seluas 4,47 juta kilometer persegi (km2) dengan potensi 601 juta jiwa. Untuk itu perlu keseriusan dan perbaikan-perbaikan agar Indonesia mampu menjadi pemain utama, bukan hanya sebagai partisipan atau penonton.
"Indonesia harus meningkatkan daya saing guna menghadapi integrasi perekonomian dan meningkatkan potensi pasar domestik. Salah satu strategi untuk membendung membanjirnya produk impor masuk ke Indonesia adalah standar," kata Saut.
Saut menjelaskan, dalam hal ini Standar Nasional Indonesia (SNI) akan berperan dalam meningkatkan kemampuan industri dalam negeri untuk bersaing di pasar global. SNI juga akan menjadi penjaga dalam menekankan masuknya produk yang tidak bermutu ke pasar Indonesia.
"SNI yang berkualitas menyokong 3 pilar utama MEA 2015. Pertama, ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi regional. Kedua, ASEAN sebagai kawasan dengan daya saing tinggi. Ketiga, ASEAN sebagai kawasan terintegrasi secara penuh dengan perekonomian global," kata Saut.
Berdasarkan data Ditjen P2HP, pada 2013 SNI yang diterbitkan untuk produk perikanan sebanyak 160 SNI, meliputi produk beku, kering, rebus, fermentasi, segar/dingin, kaleng, hidup, fish jelly, pengemasan, organoleptik dan sensori, metode uji kimia, metode uji mikrobiologi, metode uji fisika. Sementara itu, jumlah sertifikat yang saat ini diterbitkan LSPro-HP sebanyak 3 SPPT-SNI dengan jenis produk bakso ikan beku dan bandeng presto.
"Jumlah tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah Unit Pengolah Ikan (UPI) yang lebih dari 63.000 unit yang sebagian besar adalah UMKM. Pada umumnya, UPI skala UMKM tersebut belum memenuhi standar mutu dan keamanan hasil perikanan serta belum menerapkan GMP dan SSOP sebagai persyaratan dasar untuk memproduksi pangan hasil perikanan," pungkas Saut.
© Copyright 2024, All Rights Reserved