Berdasarkan temuan Migrant Care ternyata Pemilu 2024 Indonesia yang digelar di luar negeri tidak maksimal menjamin hak pilih warga negara Indonesia (WNI) di 3 negara. Yakni Malaysia, Taiwan dan Hongkong.
Temuan itu disampaikan Migrant Care dalam jumpa pers di Kantor Badan Pengawas Pemilu Republik Indonesia (Bawaslu RI), Jalan MH Thamrin, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (20/2/2024).
Pemantau Migrant Care, Muhammad Santoso mengatakan, dirinya memantau pelaksanaan pemilu di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 11 Februari 2024.
"Di Malaysia itu ada sekitar 223.000 DPT, dan di sana ada 23 TPS di gedung WTC Kuala Lumpur, Malaysia. Begitu banyak masyarakat Indonesia yang mayoritas pekerja migran menyalurkan hak politiknya sejak jam 7 pagi," ungkap Santoso.
Menurut Santoso, pada saat pemilihan di Kuala Lumpur, saat dimulai pukul 8.30 waktu setempat, ditemukan sejumlah masalah data pemilih yang membuat hak pilih tidak dapat tersalurkan.
"Kami menemukan beberapa malasah administrasi, ada yang sudah menetap 2-3 tahun tapi mereka terdaftar di TPS asal, misal di Madura, di Ngawi," kata Santoso.
Akibat data pemilih yang masih terdata di alamat yang tercantum dalam e-KTP akibatnya para pemilih itu gagal mencoblos.
"Kami mengecek pemilih secara online dari lewat data nomor paspor. Dimana, ada nomor paspor tapi ketika dipanggil di TPS itu nama orang lain," kata Santoso.
Selain di Malaysia, Santoso juga memantau pelaksanaan pemilu yang berlangsung di Taiwan. Dimana, didapati masalah serupa terkait pendataan pemilih.
Banyak pekerja migran Indonesia di Taiwan yang meminta izin ke majikan untuk mencoblos di pagi hari. Tetapi pencoblosan khusus daftar pemilih khusus (DPK) ternyata baru bisa dilakukan jam 2 siang.
"Sementara, PMI di sana diberi izin hanya 1 sampai 2 jam, sehingga mereka tidak bisa menunggu, dan mereka tdk bisa menggunakan hak suaranya menyalurkan di TPS-TPS di Taiwan," kata Santoso.
Sementara untuk temuan masalah dalam pelaksanaan pemilu di Hongkong, Koordinator Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni, menjelaskan, kejadian di wilayah pemantaunnya ditemukan pemilih tidak dapat mencoblos karena perubahan metode pencoblosan.
"Ada migrasi pemilihan di Hongkong, yang semula 40 metode TPS menjadi 4 pos, 36 TPS. Migrasi metode memilih ini tidak dilengkapi perspektif yang baik dari penyelenggara pemilu," kata dia.
Ada juga ditemukan PMI dipaksa pulang (ketika hadir di TPS) dengan alasan dia telah terdafatar metode pos. Padahal tidak dikirimkan surat suara metode pos. []
© Copyright 2024, All Rights Reserved