Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat kembali dilaporkan ke Dewan Etik MK. Pelaporan ini dilakukan oleh Madrasah Anti-Korupsi (MAK) Pemuda Muhammadiyah atas dugaan pelanggaran kode etik dan perilaku hakim.
“Hari ini kami datang memberikan laporan agar Dewan Etik kembali memanggil pak Arief Hidayat karena sebelumnya dewan etik menyatakan Pak Arief tidak terbukti melakukan lobi-lobi politik," terang Wakil Ketua Madrasah Anti-Korupsi Ahmad Fanani kepada pers di gedung MK, Jakarta, Rabu (21/02).
Dikatakan Arief, berdasarkan pernyataan Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond JMahesa patut diduga Arief melakukan lobi-lobi politik saat bertemu dengan sejumlah pimpinan Komisi III.
Pertemuan tersebut terjadi sebelum uji kepatutan dan kelayakan terkait pencalonan kembali Arief Hidayat sebagai hakim MK.
Menurut Desmond, pada pertemuan tersebut jelas terjadi lobi antara Arief dan sejumlah pimpinan Komisi III DPR agar Arief terpilih kembali sekaligus tetap menjadi ketua MK.
Saat itu, ujar Fanani, Desmond mengungkap apa yang dikatakan oleh Arief, bahwa jika ia tidak terpilih, maka Saldi Isra yang akan memegang jabatan ketua MK.
“Di tempat lain Desmond mengatakan lobi itu ada. Menurut desmond Pak Arief menyatakan seperti itu. Apa yang dikatakan Desmond itu patut untuk kembali digelar sidang etik," kata Fanani.
Selain itu, Fanani juga mempersoalkan pernyataan Arief terkait petisi 54 profesor dari berbagai perguruan tinggi yang memberinya surat desakan untuk mundur dari jabatannya.
Fanani menyertakan bukti pemberitaan sebuah media massa online nasional. Dalam berita itu Arief mengatakan bahwa petisi tersebut adalah rekayasa kelompok kepentingan tertentu.
“Beliau (Arief) juga melemparkan statement bahwa petisi yang dilayangkan oleh 54 profesor itu adalah rekayasa. Itu kan tidak patut keluar dari mulut hakim MK yang sebetulnya adalah negarawan," ujar Fanani.
Kemarin, Arief Hidayat juga dilaporkan kepada Dewan Etik oleh Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI). Pelaporan itu berkaitan dengan perbuatan Arief yang diduga mengunggah tulisan di sebuah grup Whatsapp.
Koordinator Program PBHI Julius Ibrani menuturkan bahwa pesan yang diunggah berisi tentang komentar secara terbuka atas perkara yang sudah diputus oleh Mahkamah Konstitusi yakni putusan MK No. 46/PUU-XIV/2016.
Selain itu, kata Julius, pesan tersebut juga mengandung kata-kata kasar serta informasi yang tidak benar dan menyesatkan.
“Secara implisit, substansi pesan yang diduga diunggah oleh terlapor ke dalam grup Whatsapp tersebut juga memperlihatkan sikap terlapor yang berpihak dan condong pada pihak Pemohon Perkara, sekaligus menstigma atau mendiskreditkan komunitas tertentu, sehingga dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia," ujar Julius, Selasa (20/02).
© Copyright 2024, All Rights Reserved