Data yang diungkap Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih, tentang jumlah kematian pada ibu hamil, cukup memprihatinkan. Setiap tahunnya, terdapat 10.000 ibu hamil yang meninggal akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang belum sepenuhnya dapat ditangani.
Demikian dikemukakannya dalam rapat kerja dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Senin (14/06). “Persoalan ini menjadi tantangan besar bagi kita. Karena, target pencapaian penurunan angka kematian ibu (AKI) pada 2015 adalah 102 per 100 ribu kelahiran hidup.”
Lebih jauh, Menkes membeber data hasil survei SDKI pada 2007 yang menunjukkan angka penurunan AKI menjadi 228 per 100 ribu kelahiran hidup, dari sebelumnya (2002-2003) yang mencapai 307 per 100 ribu kelahiran hidup.
Dikatakanya, capaian di 2007 itu sangat menakjubkan, karena sebelumnya diperkirakan AKI akan sangat sulit mengalami penurunan. “Namun akibat komplikasi kehamilan atau persalinan yang tidak tertangani dengan baik, masih terdapat 10 ribu ibu yang meninggal setiap tahunnya.”
Dikatakan Endang, pertolongan persalinan oleh petugas kesehatan, sangat mempengaruhi angka kematian ibu dan bayi sekaligus. Jika penanganannya tepat dan dilakukan oleh petugas kesehatan yang ahli, maka kematian ibu dan bayi dapat diminimalisir.
Dalam rapat kerja itu, Menkes juga memaparkan penyebab langsung kematian ibu, yakni adalah pendarahan (30 persen), eklampsia (25 persen), partus lama (5 persen), komplikasi aborsi (8 persen), dan infeksi (12 persen). "Risiko kematian akan meningkat bila ibu menderita anemia, kekurangan energi kronik, dan penyakit menular."
Gizi Buruk 19 Provinsi
Menkes mengemukakan, meski angka balita gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia mulai menurun, namun di beberapa provinsi, jumlahnya masih sangat tinggi. Bahkan, masih ada beberapa daerah yang angka gizi buruknya berada di atas angka nasional.
Dari data 2007, prevalensi nasional gizi buruk pada balita sebesar 5,4% dan gizi kurang pada balita, 13%. Secara umum, keduanya menunjukkan target rencana pembangunan jangka menengah untuk pencapaian perbaikan gizi, yakni 20% maupun target Millenium Develompment Goals pada 2015 (18,5 %) telah tercapai pada 2007.
Meski demikian, tambah Menkes, masih ada 19 provinsi mempunyai prevalensi gizi buruk dan gizi kurang di atas prevalensi nasional. Provinsi itu antara lain, NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.
Penyebab terjadinya gizi buruk pada balita ini, menurut Endang, dikarenakan oleh kurangnya asupan gizi, pola asuh, dan serangan penyakit infeksi kronis. Disamping ada pula penyebab tidak langsung, berupa rendahnya daya beli, ketidaktersediaan pangan yang bergizi dan keterbatasan pengetahuan tentang pangan yang bergizi untuk ibu dan balita. "Penanganan gizi buruk difokuskan pada tiga masalah dasar, yaitu pelaksanaan, sasaran, dan lokasi," ucapnya.
Untuk menurunkan prevalensi gizi kurang ini, Menkes, dengan melakukan penimbangan balita di posyandu, pemberian makanan tambahan pemulihan di posyandu, pemenuhan buffer stock ASI, pemberian vitamin A pada balita, surveilans gizi di puskesmas kabupaten/kota, dan lainnya.
Jabar AIDS Tertinggi
Pada rapat kerja tersebut, Menkes juga menyinggung kasus HIV/AIDS yang selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yang cukup besar. Disampaikannya, hingga 31 Maret 2010, tercatat ada 20.564 kasus AIDS. Padahal pada 2004, baru ada sebanyak 2.684 kasus. Pada 2005, jumlahnya naik menjadi 5.321 kasus, lalu naik lagi menjadi 8.194 (2006), 11.141 kasus (2007), kemudian 16.110 kasus (2008), serta di posisi 19.973 kasus pada 2009.
Menkes menyampaikan, data terakhir hingga Maret lalu mencatat, bahwa kasus HIV/AIDS terbanyak ada di Jawa Barat. Diikuti kemudian oleh Jawa Timur, DKI Jakarta, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Riau, serta Kepulauan Riau. “Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang mengalami epidemi HIV/AIDS dengan peningkatan prevalensi cukup tajam dan belum menunjukkan penurunan, meskipun berbagai upaya penanggulangannya telah dilaksanakan," ujar dia.
Untuk mengendalikan laju penyebaran HIV/AIDS itu, Kemenkes melakukan berbagai strategi inovatif. Di antaranya yakni penguatan pokja AIDS sektor kesehatan, penguatan kapasitas manajemen dan teknis program di semua tingkatan, penguatan dan pengembangan sistem informasi dan surveilans, hingga pengembangan kolaborasi TB-HIV serta beberapa program lainnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved