Tim ad hoc Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk kasus kerusuhan 13-15 Mei 1998, Senin (21/7) ini, meminta Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memanggil secara paksa para pejabat TNI/Polri yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah Jakarta saat kerusuhan itu terjadi. Mereka yang diminta dipanggil secara paksa antara lain mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Wiranto, mantan Panglima Kostrad Prabowo dan Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI yang juga mantan Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin.
"Hari ini, sekitar jam sebelas, kami akan mengajukan surat permohonan pemanggilan secara paksa kepada PN Jakarta Pusat," kata anggota tim ad hoc Komnas HAM untuk kasus kerusuhan Mei 1998 Ester Yusuf Purba di Jakarta, Senin (21/7) pagi.
Menurut Ester, seperti ditulis Suara Pembaruan, upaya pemanggilan paksa dilakukan karena para pejabat dan mantan pejabat militer itu walau sudah dipanggil dua kali sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku tetap tidak datang memberikan keterangan tanpa alasan yang sesuai dengan hukum. "Dasar pemanggilan paksa adalah Undang-Undang (UU) No 39/1999 tentang HAM," katanya.
Pada pasal 94 UU disebutkan, (1) Pihak pengadu, korban, saksi dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam pasal 89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan Komnas HAM. (2) Apabila kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan maka bagi mereka berlaku ketentuan pasal 95.
Pasal 95 berbunyi, Apabila seseorang yang dipanggil tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya, Komnas HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pekerja HAM dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Ori Rahman yang dihubungi secara terpisah di Jakarta mengatakan, nasib pemanggilan paksa terhadap para pejabat dan mantan pejabat TNI/Polri itu akan sama dengan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II (TSS).
Agar upaya tim ad hoc Komnas HAM untuk kasus kerusuhan Mei 1998 tidak sia-sia, dibutuhkan juga kemauan politik Presiden Megawati Soekarnoputri untuk membongkar kasus itu. Lagi pula untuk mengungkapkan kasus yang menelan ribuan korban jiwa itu secara tuntas, Komnas HAM tidak bisa bekerja sendiri."Perlu dukungan dari lembaga penegak hukum lainnya, bahkan presiden sendiri," kata Ori Rahman.
© Copyright 2024, All Rights Reserved