Kehormatan profesi merupakan sebuah nilai yang sangat berharga bagi para professional. Mengapa? Bila kehormatan ini tak mampu dijaga oleh para professional, maka eksistensinya sebagai kaum professional hampir tak ada artinya lagi.
Seorang dokter yang terkena sanksi oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI), misalnya karena melanggar kode etik kedokteran, maka eksistensi dirinya sebagai dokter, utamanya di mata masyarakat luas jadi sangat diragukan. Tentu hal serupa bisa terjadi terhadap para profesional lainnya.
Yang terkini menimpa Todung Mulya Lubis, Lelyana Santoso, David M.L.Tobing. Ketiga pengacara kawakan yang sangat professional ini terkena sanksi dari induk organisasinya. Adalah Dewan kehormatan Ikadin Jakarta Selatan yang menyatakan Todung Mulya Lubis dan Lelyana Santosa bersalah karena terbukti melakukan pelanggaran Kode Etik Advokad Indonesia, seperti yang tertuang dalam Pasal 8 ayat F. Sementara David M.L.Tobing melanggar Pasal 5 ayat C.
Menurut Majelis Dewan Kehormatan (DK) Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Cabang Jakarta Selatan, seperti yang tertuang dalam putusan No 01/PENG/IX/2002 tertanggal 28 Maret 2003 yang diketuai Makmur D. Sukrie, ketiganya terbukti bersalah melanggar Kode Etik Advokat Indonesia.
Namun, kasus yang menimpa ketiganya tak ada kaitannya dengan permainan kotor yang selama ini seolah telah melekat pada diri advokat, macam sogok-menyogok dan sejumlah perbuatan tak terpuji lainnya. Panggaran kode etik yang dimaksud Makmur tak lain adalah tindakan Todung dan Lelyana Santosa, koleganya, yang membuat catatan hukum atas putusan pengadilan yang belum inkracht (berkekuatan hukum tetap). Makmur lantas menunjuk Pasal 8 f Kode Etik Advokad Indonesia. Pasal itu menyebutkan bahwa advokad tidak dibenarkan melalui media massa mencari publisitas bagi dirinya.
Terpenuhinya unsur publisitas itu, demikian menurut Makmur, karena catatan hukum yang dibuat Todung dipasang berdampingan dengan iklan pengumuman putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan. Selain itu, catatan hukum yang dilansir sebelum adanya putusan yang berkekuatan hukum tetap dinilai sebagai opini sepihak.
Tentu saja, Todung tak terima dengan putusan itu. "Saya akan naik banding," sahut Todung kepada {majalah TRUST edisi 27}. Tentu bisa dimaklumi bila pengacara yang gagal meraih posisi Ketua DPP Ikadin dalam musyawarah nasional Ikadin yang berlangsung tanggal 3-5 April 2003 lalu ini akan naik banding. Sebab ini sungguh merugikan dirinya.
Bambang Widjoyanto, kuasa hukum Todung, mengakui bahwa advokat diharamkan menggunakan iklan untuk suatu "promosi". Tapi, berhubung selama ini sejumlah advokat telah mengiklankan adanya sebuah keputusan lewat media, "Kenapa pengumuman itu mesti dipersoalkan," ujarnya membela iklan berupa pengumuman dan catatan hukum yang dibuat kliennya di beberapa koran nasional pada 5 Agustus 2002--({majalah TRUST Edisi 27})
Iklan itu memang dipasang oleh Todung dan Lelyana dalam kapasitas sebagai kuasa hukum PT Holdiko Perkasa. Iklan itu didahului oleh vonis Komisi Pengawas Persaingan Usaha alias KPPU atas Holdiko yang dinilai telah melanggar UU No. 5/1999 tentang Larangan Praktik dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. KPPU menuding PT Holdiko telah melakukan monopoli saat penjualan saham PT Indomobil.
Majelis DK Ikadin yang beranggotakan Kiti Soegondo, Benny Sudibyo, Ponco Sugito, Cristian Hadian Woworuntu, dan M. Sawan itu juga menjatuhkan sanksi kepada David M.L. Tobing, yang pada konteks ini berposisi sebagai Pengadu, sementara Todung dan Lelyana sebagai pihak Teradu . Pasalnya,menurut DK Ikadin, David selaku pengadu juga telah melakukan pelanggaran kode etik .
Makmur pun lantas menunjuk Pasal 5 c Kode Etik Advokat. Pasal itu menyebutkan bahwa keberatan terhadap tindakan teman sejawat yang dianggap bertentangan dengan kode etik advokat tidak dibenarkan untuk disiarkan melalui media massa.
Tak pelak, David pun merasa keberatan atas putusan itu. Menurutnya, ketika pengadun itu dimuat media massa, tanggalnya sudah lewat dari tanggal pengaduan. David mengaku hanya melaporkan hal ini ke DK Ikadin. Namun, kemudian media massa menanyakan kepadanya ihwal pengaduan itu. "Jadi bukan saya yang melaporkan ke media massa," katanya berkilah.
Padahal, ujar David lagi, ada materi yang lebih penting dalam laporannya itu. Hal itu menyangkut pengumuman yang dibuat Todung yang berbeda dengan salinan putusan resmi dari pengadilan. Jadi, dalam putusan resmi terlihat bahwa putusan majelis hakim ada tujuh butir. Sementara yang diumumkan Todung hanya enam.
Yang jelas, ketiga pengacara ini melakukan banding atas putusan DK Ikadin Cabang Jakarta Selatan ini. Bagaimana hasilnya? Tunggu saja.
© Copyright 2024, All Rights Reserved