Sinyalemen proposal yang diajukan Tomy Winata untuk merenovasi Pasar Tanah Abang, sebagaimana diberitakan Majalah Tempo, harus dibuka kalau fakta dan bukti-buktinya benar-benar telah diketahui dan dimiliki oleh Majalah Tempo. Sedangkan sumber yang mengungkap hal tersebut boleh saja dilindungi sesuai ketentuan pasal 1 ayat 10 UU No. 40/1999 tentang Pers, dan hanya bisa diungkap atas perintah pengadilan. Jika tidak diungkapkan sesuai kebenaran fakta dan buktinya, maka Majalah Tempo dapat dituduh telah berbohong dengan dalih melindungi narasumber.
Demikian benang merah diskusi “Kebebasan Pers dan Perlindungan Hak Masyarakat” yang diselenggarakan [Pusat Kajian dan Edukasi Masyarakat (PAKEM)], Kamis (24/4) di Jakarta. Narasumber dalam diskusi tersebut adalah RH Siregar, wakil ketua Dewan Pers, Dr F. Budi Hardiman, dosen STF Driyarkara, Cyrillus I. Kerong, wartawan Bisnis Indonesia, Ahmad Taufik, wartawan Tempo, dan Benny K. Harman, praktisi hukum.
Menurut Benny Harman, UU No. 40/1999 tentang Pers sebetulnya tidak cukup memberi kebebasan kepada dunia pers. Yang sebetulnya ingin diperjuangkan melalui UU tentang Pers adalah bagaimana membebaskan pers dari tekanan publik sekaligus memberi perlindungan yang maksimal kepada publik yang mengalami tindakan “kasar” oleh pemberitaan pers.
Dalam kasus Majalah Tempo versus Tomy Winata, kata Benny Harman, sinyalemen Tempo tentang adanya proposal yang diajukan oleh Tomy Winata untuk merenovasi Pasar Tanah Abang itu seharusnya dibuka. “Proposal yang dikatakan ada oleh Tempo itu seharusnya dibuka, tapi sumbernya perlu dilindungi, karena hal itu diatur oleh UU Pers,” ujarnya.
Benny menambahkan, lemahnya institusi hukum mengakibatkan, di satu pihak, pers memanfaatkan kebebasannya untuk “main hakim sendiri” dan “menghantam” masyarakat karena tidak ada aturan yang sungguh-sungguh independen mengontrolnya. Di pihak lain, masyarakat berusaha “menguasai” pers karena merasa bahwa hak-haknya telah diganggu atau telah diperlakukan secara “kasar” dan “tidak adil” oleh pers.
Sementara RH Siregar mengatakan, insan pers harus hati-hati menggunakan hak tolak sebagaimana diatur dalam UU tentang Pers. Karena, bukan tidak mungkin sumber yang dilindunginya justru memberi keterangan yang tidak benar sehingga merugikan orang lain.
Pers yang bebas, menurutnya, memang dibutuhkan sebagai implementasi dari kedaulatan rakyat. Tetapi kebebasan pers itu harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Dalam kenyataan, kata Siregar, pers juga berkecenderungan menjadi sensasional secara berlebihan dengan membuat judul-judul berita yang bombastis dan menggunakan kata-kata yang amat vulgar dan tidak pantas.
“Banyak kalangan dalam masyarakat, termasuk anggota legislatif yang mengeluh menuduh pers mempraktikkan ‘jurnalisme provokasi’, ‘jurnalisme anarki’, ‘jurnalisme teror’, ‘jurnalismepreman’, ‘jurnalisme pelintir’, dan lain-lain sinisme yang memanifestasikan pers telah kebablasan dalam melaksanakan kebebasannya.” tuturnya.
Hal senada dikatakan Cyrillus Kerong, bahwa di era transisi menuju demokrasi saat ini, pers nasional kembali memperoleh kebebasannya. Namun kebebasan tersebut perlu dilindungi dengan undang-undang agar pers tidak kemudian dituduh melakukan tindakan melawan hukum dan etika, seperti berbohong, mencemarkan nama baik, dan melakukan pembunuhan karakter {(character assassination)}.
Budi Hardiman menambahkan, pers harus bekerja dengan etika “meliput seobjektif mungkin sesuai dengan hati nurani”. Karena komunikasi politis hanya mungkin lewat bahasa hukum, pers juga harus mampu memberi ‘input’ dengan menjembatani ‘bahasa sehari-hari’ dalam komunikasi publik dan ‘bahasa hukum’ dalam sistem legislasi.
Sementara Ahmad Taufik mengakui, dalam kenyataan kadang-kadang pers juga melakukan tindakan “premanisme” dan berlaku “kasar” dalam pemberitaannya, sehingga menimbulkan reaksi yang sama kerasnya dari masyarakat. “Kita tunggu saja proses pengadilan. Kalau akhirnya Tempo bersalah, Tempo akan minta maaf,” kata Taufik.
© Copyright 2024, All Rights Reserved