Gerakan Aceh Merdeka harus segera mengganti nama dan fungsi organisasinya setelah pengesahan Undang-Undang Pemerintahan Aceh dan sebelum pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Aceh.
Hal itu disampaikan Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Javier Solana dalam konferensi pers di Kantor Aceh Monitoring Mission (AMM) Banda Aceh, Sabtu (22/4).
Menurut Solana, pembubaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada proses akhir akan menjadi suatu titik kulminasi yang logis dalam proses rekonsiliasi sehingga bisa menciptakan pluralisme sejati dalam masyarakat sipil dan demokrasi.
”Mereka harus menstranformasikan organisasinya ke dalam partai politik sebagaimana di sebuah negara demokrasi. Misi perubahan ini berdasarkan integritas teritorial negara Indonesia,” kata dia.
Keterlambatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh (RUUPA) yang bisa menghambat pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada), menurut Solana, bukan masalah besar. ”Kalau memang RUUPA mengalami keterlambatan, tak masalah. Kami melihat hal ini bukan merupakan masalah fundamental dalam pelaksanaan perjanjian damai ini, tetapi lebih sebagai masalah teknis,” ujarnya.
Menurut Solana, UU itu tidak hanya akan menunjukkan komitmen pemerintah seperti yang tercantum dalam nota kesepakatan dan pelaksanaan pilkada, tetapi juga akan menjadi instrumen dalam memenuhi harapan dan aspirasi masyarakat Aceh.
Solana menambahkan, AMM juga akan mengirimkan pengacara dari Swedia untuk mempelajari ada tidaknya anggota GAM yang belum mendapat amnesti dari Pemerintah Indonesia karena dituduh terkait masalah kriminal di sejumlah daerah. ”AMM bertujuan menyelesaikan semua kasus selambat-lambatnya 15 Juni 2006,” katanya.
Sementara itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla menyatakan Pemerintah Indonesia dan Uni Eropa sepakat memperpanjang masa tugas Misi Pemantau Aceh dua bulan sampai pertengahan Agustus 2006. Selama perpanjangan masa tugas, AMM akan memantau pemilihan kepala daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
”Tugas AMM sekarang akan berakhir 15 Juni 2006. Karena itu, kita butuh perpanjangan. Kita mengundang lagi untuk perpanjangan tugas AMM dua bulan,” ujar Wakil Presiden (Wapres) dalam jumpa pers bersama Perwakilan Tinggi Uni Eropa untuk Kebijakan Keamanan dan Luar Negeri Javier Solana seusai pertemuan di kediaman Wapres di Jakarta, Minggu (23/4).
Keputusan untuk menyampaikan undangan perpanjangan masa tugas Misi Pemantau Aceh (Aceh Monitoring Mission) atau AMM di Aceh didasarkan pada target pemerintah dan DPR menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh (RUU PA). Menurut Wapres, pemerintah dan DPR menargetkan penyelesaian RUU PA pertengahan Mei atau akhir Mei 2006.
”Target kita UU Pemerintahan Aceh selesai pertengahan Mei atau akhir Mei. Butuh tiga bulan untuk pelaksanaan pilkada di Aceh. Jadi pilkadanya kira-kira awal Agustus. Kalau pilkada prosesnya kira-kira satu minggu, maka tugas AMM dapat berakhir dengan selesainya hal itu," ujar Wapres.
Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Sofyan A Djalil perpanjangan masa tugas AMM akan didahului dengan pengiriman undangan dari pemerintah melalui Menteri Luar Negeri kepada Uni Eropa. Menurut Sofyan, Uni Eropa dan AMM menerima undangan perpanjangan masa tugas itu.
"Tidak ada ruginya AMM kita perpanjang. Peran AMM untuk penciptaan perdamaian di Aceh setelah penandatanganan nota kesepahaman sangat positif. Semua biaya mereka tanggung. Kehadiran AMM akan membantu upaya pembangunan saling percaya. Kita sendiri berkepentingan AMM ada di Aceh," ujarnya.
Sofyan menambahkan, dalam pelaksanaan pilkada di Aceh, AMM akan bertugas sebagai pengawas pemilu internasional. Sesuai nota kesepahaman, pilkada di Aceh harus diawasi pengawas internasional. "Namun, sukarelawan sebagai pengawas pemilu dari mana saja bisa masuk ke Aceh dalam pemilu nanti," ujarnya.
Menurut catatan sejak Maret 2006, anggota AMM yang bertugas di Aceh tinggal 85 orang, termasuk ketuanya, Pieter Feith. Sebelumnya pada 15 Maret 2006, 125 anggota AMM mengakhiri tugasnya dan kembali ke negara asal.
Sementara itu, tanggapan berbeda muncul dari kalangan DPR. Wakil Ketua Panitia Khusus RUU Pemerintahan Aceh Djoko Susilo (Fraksi Partai Amanat Nasional, Jawa Tengah X) menilai perpanjangan kedua masa tugas AMM menunjukkan adanya gejala lembaga itu ingin menjadi pemantau permanen di Aceh.
”Saat ini alasannya adalah karena UU yang baru belum selesai dan menunggu pilkada, namun bisa jadi nantinya dicari-cari lagi alasan baru untuk memastikan pemantauan sesuai agenda mereka inginkan," ujar Djoko.
Menurut Djoko, mestinya Wapres Jusuf Kalla tidak terburu-buru mengiyakan semua keinginan AMM yang makin terlihat keinginannya untuk campur tangan. Perpanjangan kedua ini bisa jadi memperkuat indikasi keinginan Uni Eropa mencampuri urusan Indonesia secara berlebihan. Mestinya harus dilihat lagi misi awal AMM. "Apa memang harus sampai pilkada? Kalau sampai DPR ditekan-tekan, itu kurang ajar betul," katanya.
Terkait proses penyelesaian RUU Pemerintahan Aceh, harus dilihat bahwa DPR sudah bekerja keras dan akomodatif, termasuk kesediaan membahas saat reses. Hanya saja, harus pula dipahami RUU tersebut sangat kompleks dan harus dilihat betul agar tidak bertabrakan dengan UU lain. Materinya menyangkut sistem secara nasional sehingga tidak mungkin dikerjakan gegabah.
Djoko bahkan mengajak semua pihak bersikap realistis bahwa sejumlah materi krusial belum sepenuhnya tuntas dibahas. "Lihat saja di pansus, substansinya belum kena. Masalah penting kalau tidak di-pending, dimasukkan panja (panitia kerja). Semua butuh waktu," kata Djoko.
Sementara Ketua Pansus RUU Pemerintahan Aceh Ferry Mursyidan Baldan (Fraksi Partai Golkar, Jawa Barat II) di Jakarta hanya menyatakan agar RUU bisa diselesaikan sesuai harapan.
Namun, Ferry mengakui, kemungkinan selesai baru akan terlihat setelah pansus merampungkan rapat kerja pembahasan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU. Yang pasti, pansus tidak boleh dalam posisi tertekan saat membahas RUU, termasuk alasan perpanjangan masa tugas AMM.
Mengenai perpanjangan masa tugas AMM yang dikaitkan dengan penyelesaian RUU dan pelaksanaan pilkada, Ferry menilai hal itu tidak sepenuhnya tepat. Mestinya AMM terkonsentrasi pada pelaksanaan perdamaian di lapangan. AMM mestinya tidak mengawasi proses pembentukan UU. Kalaupun hendak memantau pilkada, toh kesempatan bagi pemantau mana pun terbuka lebar. "Kalau nanti mau balik saat pilkada bisa-bisa saja," kata Ferry.
© Copyright 2024, All Rights Reserved