KESEIMBANGAN antara ekonomi dan kelestarian lingkungan terus menjadi diskursus yang tak akan pernah selesai di era sekarang. Hal ini tentu tidak lepas dari kaitannya terhadap pengelolaan sumber daya alam dan pelibatan masyarakat sekitar dalam pelestarian lingkungannya. Bahkan tidak sedikit kita menemukan pengelolaan itu berujung pada konflik vertikal.
Dari diskursus ini kita menemukan eksistensi masyarakat adat yang kerap terpinggirkan dari masifnya pengelolaan sumber daya alam untuk kepentingan ekonomi negara. Dalam sisi ekonomi maka ditemukan konsep kelangkaan (scarcity) yang terus menjadi masalah ekonomi, sehingga sustainability seakan menjadi jalan yang memadukan dua pokok permasalahan tersebut.
Dari masalah tersebut, Hanley (1997) mengurai scarcity rent didasarkan pada kapital sumber daya di mana rate of return manfaat yang diperoleh dari sumber daya alam harus setara dengan biaya oportunitas dari aset yang lain, seperti saham. Dengan demikian, peningkatan nilai scarcity rent menunjukkan tingkat kelangkaan sumber daya alam.
Dalam mazhab Malthusian Stock Security, kelangkaan terjadi jika stok dianggap tetap terbatas dan biaya ekstraksi per unit pada setiap periode tidak bervariasi terhadap laju ekstraksi dalam periode tersebut. Kemudian pada Malthusian flow security, kelangkaan terjadi akibat interaksi antara stok yang terbatas dan biaya ekstraksi pe unit yang meningkat seiring dengan laju ekstraksi pada setiap periode.
Penulis memandang pemecahan masalah dengan konsep tersebut tidak menjawab pangkal atau hulunya, yakni masalah kepemilikan. Adanya kepemilikan lahan sumber daya alam oleh segelintir elite swasta yang ditopang negara dalam beberapa sisi kerap menimbulkan ketidakadilan bagi Masyarakat sekitar.
Beberapa kasus yang terjadi di Indonesia, di antaranya kasus Orang Tobelo Dalam atau Suku Togutil di Halmahera Barat yang saat ini berjumlah sekitar tiga ribuan jiwa. Mereka tinggal di hutan-hutan pedalaman Halmahera yang kondisinya terus rusak akibat aktivitas tambang secara massif oleh Perusahaan.
Temuan Survival International, sejak tahun Tahun 2016-2022 terjadi kerusakan hutan yang hebat oleh aktivitas pertambangan yang semakin meluas. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menemukan lebih dari 25 pelanggaran yang dilakukan perusahaan tambang. Dan pada tahun 2022-2024 mereka (perusahaan tambang) mendapat rapor merah dari KLHK.
Kasus selanjutnya masih segar dalam ingatan kita mengenai kasus Rempang di Kepulauan Riau. Konflik masyarakat dengan perusahaan terjadi karena masalah ketidakadilan. Kasusnya juga berawal dari tidak adanya pengakuan negara terhadap kepemilikan masyarakat yang melekat sejak era sebelum kemerdekaan.
Sholahudin, Umar (2017) menyatakan secara sosiologis, realitas masyarakat Indonesia adalah realitas masyarakat yang beragam dalam berbagai hal, termasuk hukumnya. Mereka mempunyai kelaziman-kelaziman dan tradisi turun temurun, mempunyai hukum tradisional yang digunakan mengatur antara lain pembagian tanah dan konflik, bahkan punya lembaga-lembaga yang bertugas menyelesaikan berbagai persoalan atau lebih dikenal dengan hukum masyarakat.
Pada saat yang sama, negara berusaha 'memaksakan’ hukum nasional untuk diberlakukan ke seluruh masyarakat tanpa perbedaan perlakuan. Adakalanya hukum nasional yang ingin dipaksakan itu tak sesuai dengan kelaziman masyarakat. Maka, ketika hal itu terjadi, hukum negara yang tak sesuai dengan ‘hukum’ rakyat itu cenderung tak akan dipilih. Bukan mustahil masyarakat akan melawan.
Terlebih hukum nasional dalam bentuk UUD beserta turunannya sampai ke Keppres dan Perda yang dipaksakan untuk masyarakat ‘terkesan’ hanya berorientasikan pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Atau dengan kata lain hanya sebatas pemberian ‘karpet merah’ kepada investor.
Revitalisasi Sistem Tanah Adat
Prinsip musyawarah berjenjang secara bottom up dan top down seharusnya menjadi jalan tengah untuk mengurai benang merah permasalahan ini.
Tatanan hukum yang dibangun para pendiri bangsa tentunya bertujuan untuk menegakan prinsip keadilan. Pancasila dan UUD 1945 sudah begitu kompleks mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh nuansa musyawarah-mufakat dan gotong royong.
Indonesia beruntung memiliki berbagai macam sistem tanah adat dari Sabang hingga Merauke yang sudah terbangun, jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk.
Ali Achmad (2002) menjelaskan bahwa Tanah adat merupakan kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, di mana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.
Ekonomi kita memang didasarkan dari asas manfaat, yang memiliki konteks lebih luas ketimbang asang keuntungan semata dalam bentuk nominal. Hal itu seharusnya menjadi prinsip dasar dalam Pembangunan ekonomi kita, tentunya bukan dengan konsep kapitalistik yang memiliki tabiat terus “mengeruk” sumber daya alam. Alih-alih untuk kepentingan rakyat, ternyata hanya menguntungkan segelintir elite, baik swasta maupun negara.
Sistem tanah adat merupakan rangkaian sistem di suatu tanah adat yang berawal dari budaya dan hukum setempat. Wignjodipoero (1988) sudah mengurai secara gamblang mengenai hukum adat yang menunjukan adanya nilai-nilai yang universal seperti asas gotong-royong, fungsi sosial manusia dan milik dalam masyarakat, asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum, serta asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.
Dari hirarki tersebut jelas bahwa sebelum munculnya sistem tanah adat, maka ada terlebih dahulu gotong royong dalam membangun dan menetapkan hukum adat itu sendiri. Sehingga hukum adat itu akan mengatur fungsi sosial kemasyarakatan yang termanifestasi dalam kelembagaan adat.
Dari pola interaksi itu akan ada persetujuan bersama sebagai dasar kekuasaan umum. Dari prinsip-prinsip itu maka sistem tanah adat yang berjalan sudah pasti berpola permusyawaratan perwakilan dalam menampung segala aspirasi warga untuk memecahkan permasalahan kehidupan, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam untuk kemanfaatan ekonomi.
Dari penjabaran itu kita pahami bahwa setiap hukum termasuk hukum adat merupakan suatu sistem, artinya kompleks norma-normanya yang merupakan suatu kebulatan sebagai wujud pengejawantahan daripada kesatuan alam pikiran yang hidup di dalam masyarakatnya. Secara sifat, hukum adat memiliki:
(1) Corak kebersamaan atau komunal yang kuat, artinya manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatannya yang erat, rasa kebersamaannya ini meliputi seluruh lapangan hukum adat. (2) Corak religio-magis yang berhubungan dengan pandangan hidup alam Indonesia. (3) Hukum adat diliputi oleh pikiran penataan serba konkrit, artinya hukum adat sangat memperhatikan banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan-perhubungan hidup yang konkrit, dan (4) Hukum adat mempunyai sifat yang visual, artinya perhubungan hukum dianggap hanya terjadi oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang dapat dilihat.
Dengan demikian ketika pola ini berjalan kembali, maka penulis optimis jalan tengah konflik agraria dan asas kemanfaatan ekonomi beserta kelestarian lingkungan dapat terjadi. Kita semua perlu merenung, membuka mata dan hati untuk melihat masalah ini secara holistik yang memiliki feedback kepada “kesejatian urip” sebagai makhluk Tuhan YME.
*Penulis adalah Mahasiswa Manajemen Pengelolaan Sumberdaya Alam Universitas Al-Azhar Indonesia
© Copyright 2024, All Rights Reserved