BERBICARA Republik Indonesia tak terlepas dari sejarah terbentuknya. Namun, mempelajari sejarah bukan sekadar mempelajari sebuah peristiwa, tokoh-tokoh dalam peristiwa, kapan dan dimana terjadi peristiwa tersebut.
Bung Karno mengatakan "mempelajari, menelaah sejarah akan menemukan hukum-hukum pasti yang menguasai kehidupannya bangsa-bangsa". Hal tersebut tertuang dalam pidato Bung Karno peringatan Kemerdekaan keenam Bangsa Indonesia, 17 Agustus 1951.
Hal ini selaras dengan filosofi Goethe bahwa hukum alamiah (pasti) adalah sebuah metamorfosa, berkembang dan bertransformasi, di mana manusia merupakan bagian darinya dan tidak berada di luar proses ini.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk melalui proses yang unik, dan berbeda dengan republik-republik modern lainnya di dunia. NKRI terbentuk dari bangsa Indonesia yang lahir dan merdeka terlebih dahulu, baru kemudian membentuk Negara Republik Indonesia.
Bangsa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 melalui Kongres Pemuda II yang dihadiri Jong-jong (pemuda-pemuda) yang merupakan representasi dari perjuangan rakyat di Nusantara pada waktu itu. Jong-jong berikrar:
Kami putra dan putri Indonesia, bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia;
Kami putra dan putri Indonesia, Berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia;
Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia.
Ikrar di atas kemudian dikenal sebagai Sumpah Pemuda. Bangsa Indonesia terlahir memiliki tujuan yaitu mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat Indonesia. Pasalnya, kehidupan rakyat pada saat itu hidup dalam kondisi termiskinkan, terbodohkan, dan tertindas oleh kolonialisme dan imperialisme.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya berdasarkan Pancasila. Satu hari setelahnya tepatnya pada 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945 sebagai konstitusi dan ditetapkan Soekarno-Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Dengan hal tersebut Negara Republik Indonesia resmi berdiri sesuai dengan Perjanjian Montevideo mengenai syarat berdirinya suatu negara.
Dari runtutan sejarah bangsa Indonesia lahir, merdeka kemudian membentuk Republik Indonesia, dapat ditarik sari hukum (kebenaran), yaitu komitmen dalam mengangkat harkat dan martabat hidup rakyat Indonesia.
Kebenaran tersebut kemudian menjadi hukum bagi seluruh anak bangsa dalam mengisi kehidupan berbangsa dan bernegara yang selanjutnya tertuang dalam Pancasila dan UUD 1945.
Namun, "Jauh Panggang dari Api" itulah peribahasa yang menggambarkan realitas kehidupan bangsa Indonesia yang berlangsung saat ini.
Eksistensi Republik Indonesia yang unik tidak diterima oleh Neokolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Republik Indonesia dibunuh, anak bangsa dijauhkan dari kebenaran sejarah bangsanya.
Anak bangsa hari ini lebih gandrung dengan literatur-literatur asing yang ditelan mentah-mentah, segala penyakit modern dibiarkan masuk, tidak ada lagi proses feedback terhadap hukum yang terbentuk dari proses sejarah. Sehingga menenggelamkan mereka dalam nihilisme.
Anak bangsa Indonesia saat ini tak ubahnya menjadi manusia demokratis modern yang sepenuhnya terdisintegrasi, atau yang disebut Friedrich Nietzsche sebagai "The Last Man".
Menyadarkan anak bangsa terhadap sejarah adalah tugas utama seluruh elemen. Berangkat dari kesadaran tersebut akan melahirkan will power, dorongan kuat anak bangsa kembali ke fitrahnya, kembali ke jati dirinya, kembali ke rel perjuangannya dalam mengangkat harkat dan martabat hidup Kaum Marhaen.
Sekilas Tentang Marhaen
Marhaen dan Marhaenisme merupakan dua kata yang sudah tidak asing bagi kita masyarakat Indonesia, khususnya bagi pecinta Bung Karno, Presiden Pertama Republik Indonesia.
Perlu diakui dua kata tersebut walaupun sangat populer di zamannya kini mulai hilang di hati dan pikiran generasi muda Indonesia. Selain hanya ada di buku-buku tertentu, dua kata tersebut memang tidak dimasukkan di dalam kurikulum pendidikan di Indonesia.
Padahal dua kata tersebut asli "bikinan" (begitu Bung Karno menyebutnya) pemimpin pergerakan rakyat pada masa penjajahan untuk menyebut kaum miskin, kaum tertindas, kaum yang melarat sengsara. Sebagaimana kata sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi pun asli "bikinan" pemimpin pergerakan untuk menyebut nasionalisme dan demokrasi asli Indonesia.
Marhaen adalah sebutan untuk "Wong Cilik", kaum miskin, kaum tertindas, kaum melarat sengsara mencakup buruh, petani, pegawai, pedagang dan lain-lain cara penghidupannya. Dengan demikian, Marhaen mencakup pula apa yang disebut dengan kaum proletar, kaum kelas pekerja yang tidak memiliki alat produksi.
Namun, definisi proletar tidak mencakup hidup seorang petani yang bekerja di lahan milik sendiri, cangkul milik sendiri, kerbau milik sendiri, tetapi seluruh rakyat Indonesia yang hidup miskin di tengah melimpahnya kekayaan alam.
Sedangkan Marhaenisme adalah ajaran tentang sosio nasionalisme dan sosio demokrasi, begitulah Bung Karno mendefinisikan.
Isme tersebut lahir atas ketimpangan realitas dari nasionalisme dan demokrasi yang diterapkan di Eropa bahkan dunia dan masih terjadi saat ini. Marhaenisme menolak borjuisme, yang notabene adalah ibu kandung dari nasionalisme dan demokrasi ala barat.
Marhaen dan Merhaenisme adalah produk asli pemikiran para pemimpin bangsa ini, yang harus kita lestarikan dan diajarkan kembali kepada anak bangsa. Ingat pesan Bung Karno, "Bangsa Yang Besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya".
*Penulis adalah Founder Republikein Studieclub
© Copyright 2024, All Rights Reserved