PRESIDEN terpilih Prabowo Subianto melakukan gerakan internasional melalui pikirannya yang dia suarakan di salah satu kolom majalah terbesar eropa, "the economist", (26/4) lalu terkait Palestina. Tulisan tersebut berjudul "The War in Gaza: Indonesia’s president-elect accuses the West of double standards". Hampir semua media kita memberitakan berita tersebut.
Ada tiga hal penting yang ditulis Prabowo di situ, 1) pembantaian rakyat Palestina oleh Israel merupakan kekejaman kemanusiaan terbesar saat ini. "Tak perlu menjadi Muslim untuk berduka", katanya. Bahkan tidak setimpal dibandingkan dengan serangan Rusia ke Ukraina. Pembantaian ini tidak mempunyai landasan moral sedikitpun untuk bisa diterima.
2) Prabowo mengecam sikap negara-negara barat yang membela Israel ketika membantai orang-orang Palestina itu. Ironisnya mereka marah kepada Rusia ketika negara itu menyerang Ukraina. 3) Prabowo meminta perang diakhiri dan meminta kerjasama semua negara untuk mendirikan negara Palestina, berdampingan dengan Israel.
Meskipun The Economist menyatakan kolom khusus untuk Prabowo itu sebagai "invitation", namun tetap saja pikiran Prabowo itu menunjukkan posisinya dalam soal Palestina, baik di dalam negeri maupun dunia internasional. Apa sebenarnya yang diinginkan Prabowo terkait hal ini?
Ada 3 hal yang perlu kita pertimbangkan. Pertama, saat Prabowo menulis artikel tersebut, gerakan pro Palestina meluas di seluruh kampus, dari Amerika ke eropa dan Australia. Beberapa kampus di negara non barat juga berlangsung hal yang sama, dalam skala lebih kecil. (Di Indonesia hampir tidak ada kampus yang peduli). Pada 24/4 mahasiswa Columbia University di New York melakukan pendudukan kampus dengan judul "Gaza/Palestine Solidarity Encampment". Mereka membangun tenda-tenda tidur di sana. Menduduki kampus.
Tuntutan mereka adalah "Divestment" (memutuskan investasi dengan Israel), Keterbukaan keuangan (menginformasikan semua keuangan kampus yang terkait dengan Zionisme, termasuk bisnisnya) dan melindungi mahasiswa/dosen yang diskorsing atas aktifitas demo mereka. Pada tanggal 26/4 pimpinan kampus meminta polisi membubarkan tenda-tenda tersebut dengan paksa dan terjadi penangkapan. Besok harinya pendudukan kampus (Encampment) malah semakin besar di Columbia University, dan bahkan menyebar di seluruh kampus-kampus besar di Amerika, Inggris, Prancis, Jerman, Australia dll. Kekerasan di Amerika, Prancis dan berbagai negara lain terjadi, baik antara polisi dan pendemo maupun adanya serangan dari kelompok pro Israel. Akhirnya, seluruh dunia terbelalak dengan gerakan pro Palestina ini.
Orang-orang kaya Amerika mengecam aksi mahasiswa tersebut. Joe Biden, presiden Amerika, pun akhirnya ikut mengecam, sambil menuduh aksi itu sebagai aksi anti Yahudi dan sudah melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Barnie Sanders, senator senior beraliran kiri progresif dan seorang Yahudi, mengingatkan Joe Biden untuk tidak mengecam mahasiswa. Menurutnya gerakan mahasiswa di Universitas Columbia, pro Palestina, sama pentingnya dengan gerakan mahasiswa Amerika anti perang Vietnam 60 tahun lalu. (www.sanders.senate.gov/press-releases/prepared-remarks-sanders-on-the-nationwide-student-protests-and-the-ongoing-humanitarian-disaster-in-gaza/). Menurutnya, gerakan mahasiswa itu bukanlah pro Hamas maupun anti Semitisme, melainkan anti rezim Isreal penjajah yang rasis.
Pro dan kontra atas aksi-aksi mahasiswa ini, yang bereskalasi selama 6 bulan terakhir, telah membuat pemimpin pemimpin dunia saling sibuk dialog, mengecam, berdebat dan lain sebagainya. Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa pun ikut mengecam langkah pemerintah di Amerika dan barat lainnya yang represif terhadap mahasiswa itu.
Dari sisi inilah kita melihat Prabowo, meskipun belum dilantik sebagai presiden, mulai gerah dengan situasi internasional yang berlangsung. Apalagi pemerintah Indonesia saat ini terlihat bekerja sekedar normatif saja atas isu Palestina.
Kedua, menunggu pelantikan 5 bulan lagi, mungkin buat Prabowo terlalu lama. Sementara, secara diplomatik, Indonesia sangat bergantung pada peranannya di PBB. Sebaliknya, Prabowo, yang mempunyai kapasitas sebagai pemimpin regional dan dunia Islam, tentu saja faham bahwa urusan di PBB itu merupakan derivatif. Tekanan terbesar harus dilakukan di luar PBB, seperti tekanan terhadap barat, baik politik, ekonomi maupun mempengaruhi gerakan-gerakan mahasiswa dan kelompok pro Palestina secara global.
Perubahan sedang terjadi sangat cepat saat ini. Dua negara eropa yang besar, Spanyol dan Irlandia sedang menuju pengakuan atas Negara Palestina. Begitu pula sikap Belgia yang semakin sinis terhadap Israel. Peluang ini tentu membutuhkan resonansi tokoh-tokoh besar dunia. Mungkin ini yang menjadi keinginan cepat Prabowo, yakni "kehadiran" dirinya.
Ketiga, Prabowo membutuhkan tema Islam dalam perjuangannya ke depan. Tema ini dimilikinya ketika aktif sebagai jenderal Kopassus maupun Kostrad dahulu, yakni "tentara hijau". Begitu juga ketika running tahun 2014-2019. Namun, tema ini hilang ketika dia bersekutu dengan Jokowi.
Tanpa tema Islam, maka Prabowo kesulitan masuk dalam percaturan politik dunia, khususnya vis-a-vis terhadap barat, lebih khusus lagi terkait isu Negara Palestina. Melalui klaim pemimpin negara Islam, Prabowo akan masuk dalam percaturan politik global. Apalagi dia mempunyai hubungan akrab dengan Anwar Ibrahim, Malaysia, dan Raja Yordania. Sekali lagi isu perjuangan Palestina akan membawa Prabowo nantinya menjadi pemimpin Islam di negara mayoritas Islam.
Persoalannya adalah mungkinkah Prabowo sungguh sungguh dalam menulis di The Economist itu mau mendirikan negara Palestina? Bagaimana jejak kedekatan Prabowo dengan beberapa tokoh-tokoh pendukungnya, yang terekam jejak digital, mungkin terafiliasi dengan pemimpin Israel maupun pengusaha Rothschild? Apakah Prabowo sekedar berwacana untuk sekadar "positioning" politik untuk panggung politik global? Bukan sungguh sungguh mau ikut mendirikan negara Palestina? Mari kita lihat ke depan?
Persoalan kedua adalah apakah jika Prabowo bersungguh-sungguh akan masuk dalam intrik-intrik dan diplomasi global power, dia mempunyai sekutu politik yang mumpuni? Pertanyaan ini muncul karena pendukung utama Prabowo saat itu kebanyakan kaum pragmatis dan oportunis, yang tidak biasa mengambil peran dan resiko besar dalam skala global. Bisakah dia seperti di era Soekarno, dimana sang presiden didampingi tokoh-tokoh sekelas Sutan Syahrir dan Agus Salim? Ini sebuah pertanyaan besar ke depan.
Persoalan ketiga adalah jika terjadi ke depan kampus-kampus di Indonesia bukan menyambut ide gerakan pembebasan Palestina melalui "Gaza/Palestine Solidarity Encampment", malah tetap pada isu pemilu curang dan isu2 demokrasi? Apakah bukan sebuah deligitimasi terhadap Prabowo di kalangan pemimpin barat yang dia kecam double standard?
Penutup
Tulisan Prabowo di kolom majalah terbesar eropa the Economist ikut mewarnai pertarungan pemikiran pemimpin pemimpin dunia. Prabowo menulis itu ketika hampir seluruh kampus-kampus besar di Amerika, eropa dan Australia terlibat pendudukan kampus dengan tema anti Israel. Prabowo mungkin tidak sabar lagi masuk dalam kancah perbincangan dunia. Menunggu dilantik presiden mungkin terlalu lama. Dunia bergerak sangat dinamis.
Dengan tema pembebasan Palestina atau ikut aktif mendirikan negara Palestina, tentu Prabowo ingin menyatakan dirinya mewakili kepentingan umat Islam Indonesia dan dunia untuk berunding dengan pemimpin dunia lainnya.
Tantangannya adalah apakah Prabowo mampu menegasikan kelompok kepentingan Israel di Indonesia, yang mungkin ada dalam kelompok pendukungnya? Apakah Prabowo mampu menggerakkan umat Islam dalam tema pembebasan Palestina, dalam orkestrasinya secara total?
Begitupun tulisan Prabowo di the economist perlu diacungkan jempol, sejalan dengan gerakan mahasiswa barat anti Israel yang radikal saat ini.
*Penulis adalah Founder Sabang Merauke Circle
© Copyright 2024, All Rights Reserved