Teuku Syaifuddin alias Popon pengacara Gubernur non-aktif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Abdulah Puteh, akhirnya dinyatakan bersalah dan divonis 2 tahun 3 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider satu bulan kurungan. Hal tersebut diputuskan oleh Ketua Majelis Hakim Gusrizal SH dalam persidangan yang berlangsung di Tipikor, di Jakarta, Jumat (18/11).
Popon oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor dinyatakan terbukti melakukan penyuapan terhadap pegawan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Gusrizal SH menjelaskan bahwa, "Terdakwa terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara memberikan sesuatu kepada pejabat atau penyelenggara negara."
Dalam persidangan itu Popon dinyatakan terbukti melanggar pasal 5 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk dakwaan pertama. Popon juga dipersalahkan dalam hal pasal 5 ayat 1 UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Salah satu yang memberatkan Popon, menurut majelis hakim, adalah terdakwa berprofesi sebagai advokat yang seharusnya ikut memberantas kejahatan korupsi, namun ia justru melakukan penyuapan. Selain itu Popon juga dianggap telah mencoreng nama baik korps penegak hukum dan dunia peradilan di tanah air.
Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan nota pembelaan yang diajukan penasehat hukum terdakwa menjadi pertimbangan majelis hakim dalam mengambil putusan. Pada sidang sebelumnya, JPU menuntut agar Popon dijatuhi hukuman empat tahun penjara dan denda RP50 juta subsider tiga bulan kurungan.
Dalam pembelaannya, penasehat hukum Popon mengungkapkan bahwa panitera PT DKI Jakarta Ramadhan Rizal dan panitera muda pidana PT DKI Jakarta M Soleh, yang menerima uang dari Popon, tidak memiliki kewenangan untuk mempengaruhi masukan banding Abdullah Puteh.
Namun hal tersebut dibantah oleh majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya. Majelis hakim berpendapat bahwa berdasarkan yurisprudensi ada indikasi aksi penyuapan tersebut ada kaitannya dengan kekuasaan jabatan.
"Menurut Hoograt (ahli hukum-red) berdasarkan putusan 20 Juni 1916 tidak perlu seorang pejabat itu dibuktikan memiliki kewenangan seperti yang diminta oleh pihak yang menyuap, tetapi cukup memiliki kemampuan untuk mempengaruhi," kata I Made Hendra Kusuma, salah seorang anggota majelis hakim saat membacakan butir-butir pertimbangan putusan majelis hakim.
Ketika ditanya wartawan soal vonis tersebut Popon terlihat tegang dan sedikit berang serta berusaha menghindar. "Saya mau banding karena Said Salim tidak pernah dihadirkan, jadi saya tidak salah," ujar Popon kesal. Sedangkan pengacara terdakwa Deni Ramon Siregar, juga mengungkapkan hal yang sama. "Kami akan diskusikan hal ini dengan terdakwa," kata Deni singkat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved