Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghormati putusan hakim praperadilan yang mengabulkan gugatan terhadap penetapan tersangka mantan Walikota Makassar Ilham Arif Sirajuddin. Imbas dari putusan MK yang memperlebar kewenangan di pasal 77 KUHAP, kini para penegak hukum sudah harus membeberkan bukti-bukti materiil di sidang praperadilan. Padahal, seharusnya bukti itu dibeberkan di sidang perkara.
Kepada pers di Jakarta, Rabu (13/05), Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sementara, Indriyanto Seno Adji, mengatakan, saat ini tak bisa lagi dibedakan mana sidang praperadilan dan mana yang persidangan biasa.
Sidang praperadilan kini menuntut para penegak hukum untuk membuka semua materi perkara. Padahal, itu seharusnya tidak bisa dilakukan saat perkara masih di ranah penyidikan.
Pakar hukum pidana ini mengatakan, pada dasarnya KPK selalu berpegang teguh pada KUHAP dalam setiap menetapkan seseorang sebagai tersangka. Hanya saja di luar aturan undang-undang, hakim meminta KPK menunjukkan 2 alat bukti yang dimiliki.
“Padahal mekanisme penunjukan bukti bukan domain lembaga praperadilan, tapi lembaga pengadilan dalam proses pemeriksaan pokok perkara tindak pidana korupsi," ujar dia.
Indriyanto menilai hakim praperadilan telah menerapkan pola pemeriksaan terbalik. “Mekanisme penunjukan bukti bukan domain lembaga praperadilan, tapi lembaga pengadilan dalam proses pemeriksaan pokok perkara. Jadi Hakim menggunakan pola pemeriksaan terbalik," ujar Indriyanto.
Pola semacam ini, dinilainya sangat riskan bagi penegak hukum lantaran memicu saksi atau tersangka menyamarkan perolehan alat bukti, baik dengan menghilangkan, menyembunyikan, atau merusak alat bukti.
Indriyanto menyebut, filosofi “To seek and gathering evidence” dalam proses penyidikan bersifat tertutup demi menghindari potensi hilangnya alat bukti. "Jadi pola pemeriksaan terbalik dari hakim ini membahayakan penegakan hukum pemberantasan korupsi," kata Indriyanto.
© Copyright 2024, All Rights Reserved