Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, didampingi Juru Bicara Kepresidenan Andi Mallarangeng, Senin (19/2), menggelar jumpa pers. Sudi menjelaskan disposisi persetujuan yang diberikan Presiden kepada KPK terhadap penunjukan langsung (PL) pengadaan alat penyadap didasarkan pada saran Mensesneg Yusril Ihza Mahendra.
Saran tersebut diberikan kepada Presiden setelah Mensesneg mempelajari secara mendalam permintaan Ketua KPK. Saran kepada Presiden Yudhoyono disampaikan melalui Memorandum No.M.907/M.Sesneg/10//2005 perihal Permohonan Penetapan Metode Pemilihan Penyedia Barang atau Jasa.
"Ada kesan seolah-olah Presiden memberikan persetujuan itu tidak berdasar, padahal beliau memberikan persetujuan berdasarkan undang-undang. Kemudian, beliau juga menetapkan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 atas rekomendasi dan saran Mensesneg," kata Sudi.
Kerap kasus dugaan korupsi yang berkaitan dengan keputusan pejabat pemerintah, utamanya soal penunjukan langsung (PL) atas sebuah proyek, menimbulkan kontroversi hukum. Kontroversi itu muncul, lebih didominasi oleh cara pandang dan keberbihakan atas pejabat yang memang diberi hak secara hukum untuk membuat keputusan tersebut.
Peraturan Pemerintah (PP) yang berkaitan dengan PL memang ada. Mulai dari pejabat setingkat menteri, gubernur, bupati, atau walikota memiliki kewenangan tersebut. Pimpinan Proyek (Pimpro) yang berada dibawah pejabat-pejabat dimaksud, sifatnya lebih pada soal teknis proyek. Namun tidak menutup kemungkinan adanya konflik kepentingan diantara pejabat teknis dan pejabat pembuat kebijakan.
Sudah menjadi rahasia umum, khususnya di kalangan pengusaha, Pimpro dan pejabat pembuat kebijakan – pemegang otoritas PL, menjadi target lobi para pengusaha. Set-up berkas, waktu, nilai penawaran, dan uang pelicin – bahkan belakangan bersifat bagi hasil antara pengusaha dan penguasa, adalah sesuatu yang melingkupi PL. Argumentasi mepetnya waktu, jenis barang yang spesifik, tingkat security, adalah sesuatu yang menjadi ”peluru” pemungkas untuk melindungi keputusan PL yang dibuat. Memang, itu semua ada tercantum dalam aturan main yang ada.
Langkah Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra melaporkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrachman Ruki terkait dengan PL dalam pengadaan alat penyadap, menjadi langkah yang kurang populer dimata beberapa pihak. Padahal, langkah Yusril merupakan terobosan baru dalam dunia demokrasi hukum di Indonesia.
Sepatutnya, langkah Yusril bisa dijadikan “pemicu” bagi kalangan penegak hukum, khususnya yang berkaitan dengan dugaan korupsi yang terkait dengan kebijakan PL. KPK sebagai sebuah lembaga tidak perlu segan-segan memeriksa pejabat yang terkait dengan PL alat penyadap. Sebab, seluruh warga negara Indonesia, sama dimata hukum.
Secara bijak, sebaiknya jangan melihat langkah Yusril seakan sebuah serangan balik terhadap Ketua KPK. Jangan kaitkan dengan Yusril yang sedang diperiksa KPK atas kasus “serupa”, ketika Yusril sedang menjabat Menteri Hukum dan Perundang-undangan.
Direktur Indonesian Court Monitoring Denny Indrayana menilai langkah Yusril sama artinya dengan menyalahkan Presiden yang memberikan izin penunjukan langsung kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Sudah saatnya Presiden menegur Yusril," katanya.
Sementara itu, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Benny K Harman menilai, sikap Yusril yang sangat reaktif itu mengesankan bahwa Yusril terpojok. Dengan manuver itu, katanya, Yusril seolah-olah ingin mengatakan bahwa sebagai Mensesneg ia kebal hukum.
Seperti diketahui, Kamis pekan lalu, Yusril diperiksa KPK terkait dengan penunjukan langsung dalam pengadaan sistem identifikasi sidik jari otomatis di Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Dalam kasus itu KPK menahan dua tersangka.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat A Muhaimin Iskandar menilai pelaporan dugaan korupsi Ketua KPK oleh Yusril menimbulkan kebingungan publik atas penegakan hukum di Indonesia. "Konflik di antara mereka merupakan lelucon terbesar tahun ini. Konflik tersebut tidak perlu terjadi jika ada penegakan hukum yang tegas," ujarnya.
Ditempat terpisah, advokat senior, Adnan Buyung Nasution, juga menyesalkan perseteruan yang terjadi antara KPK dan Mensesneg. Ia melihat ada tata krama politik yang diabaikan. "Semestinya KPK meminta izin kepada Presiden sebelum memeriksa Yusril," tutur Nasution seraya menambahkan bahwa adanya persoalan substansial, yaitu lemahnya koordinasi dan supervisi dalam pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Disisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR Azis Syamsuddin menyarankan Presiden membentuk tim independen untuk menuntaskan laporan Yusril. Tim independen yang bersifat ad hoc diisi polisi dan jaksa. Sementara nggota Komisi III Gayus Lumbuun menunjuk Jaksa Agung menyelidiki kasus itu.
Advokat Todung Mulya Lubis menilai, lepas dari latar belakang pengaduan Yusril, Presiden harus menindaklanjutinya. Presiden bisa menunjuk penyelidik swasta untuk memeriksa Ketua KPK.
Sementara menurut Mahfud MD, menyangkut penunjukan langsung dalam proyek pengadaan alat penyadap KPK itu tidak bermasalah karena ada dasar hukumnya, yakni Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.
Dalam Keppres tersebut, katanya, disebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilaksanakan untuk proyek pengadaan barang dan jasa terkait keamanan negara, kerahasiaan dan hal-hal yang sensitif.
"Syaratnya harus ada ijin dari Presiden. Nah, pengadaan alat penyadap KPK itu sudah memperoleh ijin Presiden sebelum dilaksanakan," kata Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud mengatakan, Yusril sebenarnya tahu proyek pengadaan KPK tidak bermasalah, buktinya dalam laporannya ke KPK, Yusril melakukan ralat, yakni dari sebelumnya laporan dugaan korupsi menjadi meminta KPK menelaah proyek itu.
Jika persoalan tersebut akhirnya membesar, Mahfud menduga ada pihak-pihak yang menjadi "penumpang gelap" yang memanfaatkan laporan Yusril itu untuk menghantam KPK yang memang ditakuti para koruptor.
"Karena memang sudah ada laporan, kasus ini perlu di-clear-kan oleh presiden dan KPK," kata anggota Komisi I DPR RI tersebut.
Memang, Yusril mendapat banyak kecaman terkait tindakannya melaporkan Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki yang dituding melakukan penunjukan langsung tanpa tender pembelian alat penyadapan telepon pada 2005 lalu. Yusril mempermasalahkan Ruki setelah dirinya diperiksa dalam kasus penunjukan langsung proyek pengadaan alat sidik jari otomatis (AFIS) di Depkum dan HAM senilai Rp 18,48 miliar.
Saat itu, Yusril menjabat sebagai Menteri Hukum dan Perundang-undangan (Menkumdang). Dengan pembelian barang tanpa tender ini, negara diperkirakan dirugikan senilai Rp 6 miliar. Saat ini, Yusril masih berstatus sebagai saksi. KPK telah menetapkan dua tersangka dalam kasus itu yakni Aji Apendi (staf Ditjen AHU Depkum dan HAM) dan Eman Racman (Direktur Utama PT Sentra Filindo).
Dengan melaporkan Ruki, Yusril dinilai melawan Presiden SBY. Sebab, Ketua KPK melakukan penunjukan langsung pengadaan alat penyadapan telepon berdasarkan izin Presiden SBY. Seskab Sudi Silalahi membenarkan bahwa Presiden telah memberikan izin kepada KPK. Dan menurut Sudi, Presiden memberikan izin kepada KPK sesuai rekomendasi Yusril Ihza sebagai Mensesneg.
Pada 2004, PT Sentra Filindo ditunjuk menjadi penyedia alat sidik jari otomatis senilai Rp 18,48 miliar. Dan diduga pengadaan alat tersebut merugikan negara Rp 6 miliar.
Dari hasil audit BPK yang diberitakan berbagai media, , disebutkan untuk menunjang tugas dan fungsi Daktiloskopi Ditjen AHU, Yusril membentuk panitia teknis pengadaan alat sidik jari otomatis itu.
"Panitia teknis selanjutnya mengundang 5 perusahaan untuk melakukan pemaparan pada 21 dan 22 Agustus 2003," jelas audit tersebut.
Lima perusahaan itu yakni PT Fratekindo Jaya Gemilang (alat merek Sagem), PT Sentral Filindo (merek Dermalog), PT Fajar Mentari Songkoputrogo (merek cross match), PT Kinerja Teknologi (merek Motorola), dan PT Bayu Mega Sejahtera (merek Eastshore).
Namun, dari lima perusahaan yang diundang, hanya tiga yang melakukan pemaparan yakni PT Sentral Filindo, PT Kinerja Teknologi, dan PT Fratekindo Jaya Gemilang.
Tim BPK akhirnya berpendapat bahwa yang mampu menyediakan peralatan alat sidik jari otomatis itu hanyalah PT Sentra Filindo. Perusahaan itu menampilkan rumusan sistem Henry secara otomatis dan sudah siap peralatannya.
"Berdasarkan memorandum Dirjen AHU, Menteri Kehakiman dan HAM menyetujui penunjukan PT Sentral Filindo sebagai pelaksana proyek pembuatan sistem otomatis sidik jari dengan pertimbangan perusahaan itu merupakan perusahaan spesifik yang dapat menyediakan alat itu dan terbatasnya waktu yang tersedia untuk melaksanakan proyek itu karena tahun anggaran 2004 akan berakhir sekitar 75 hari lagi," tulis audit BPK.
Yang tercecer tidak di audit BPK dan belum tersentuh KPK adalah siapa tokoh sebenarnya yang berada di belakang kemenangan PT.Sentra dalam memperoleh proyek AFIS? Sebab, sudah menjadi rahasia umum, baik di dalam maupun di luar Depkumhan, bahwa proyek AFIS dan proyek-proyek lainnya, dikuasai oleh broker-broker proyek yang dekat dengan pejabat pemegang otoritas PL.
Pertanyaannya kemudian, adakah kewenangan hukum yang dimiliki Yusril dan Ruki dalam kasus AFIS dan alat penyadap? Tentu ada. Jika tidak ada, keduanya tentu tidak berani membuat kebijakan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved