PERSOALAN utama pers Indonesia identik dengan persoalan yang dihadapi bangsa. Dunia pers pun mengenal kesenjangan, terutama antara pers yang kuat dan yang lemah. Pers yang kuat didukung oleh modal besar dan mampu menentukan banyak hal. Sementara pers yang lemah, hanya bertahan. Seringkali, pers yang lemah itu terpaksa melanggar kode etik untuk tetap bertahan.
Hal itu dikemukakan Ichlasul Amal, setelah resmi terpilih sebagai Ketua Dewan Pers periode 2003-2006 menggantikan Atmakusumah Astraatmadja, Senin (1/9), di ruang kerjanya. Menyongsong tugasnya yang baru, Ichlasul mengatakan, hal yang paling mendesak adalah sosialisasi kode etik jurnalistik kepada seluruh lapisan masyarakat.
"Ini untuk melindungi pers agar jangan sampai ada intervensi baik intervensi dari internal perusahaan pers itu sendiri, intervensi pemerintah maupun intervensi pihak luar," ujarnya. Terkait gugatan yang sering dilemparkan kepada pers, Ichlasul menjawab, mestinya masalah itu bisa diselesaikan secara internal. "Jangan dulu dibawa ke pengadilan tetapi diselesaikan di dalam dahulu dengan melibatkan Dewan Pers, sehingga Dewan Pers setidaknya bisa membantu solusinya atas persoalan yang timbul," ujarnya.
Semua pihak, baik yang menggugat maupun tergugat tetap akan mengenyam kerugian yang sama. Soal RUU Kebebasan Informasi, mantan Rektor UGM itu menjelaskan, masih mengandung banyak persoalan dan kalau RUU itu disahkan, mungkin justru akan menimbulkan birokrasi baru.
Jika kebebasan informasi itu dibebaskan sepenuhnya, juga tetap akan menimbulkan masalah. Negara atau institusi tetap memiliki kerahasiaan.
Jika timbul sebuah pemaksaan, khususnya memberikan informasi dengan dalih UU tersebut, Ichlasul juga menyayangkan sikap semacam itu.
"Jadi menurut saya, RUU itu harus dibahas dengan cermat sehingga kalau disahkan, jangan sampai menimbulkan dampak yang tidak mengenakkan semua pihak," ucapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved