Saat ini dunia bergerak memasuki era digital. Banyak perubahan yang terjadi di bidang pendidikan. Untuk itu, Perguruan Tinggi (PT) harus berupaya menumbuhkan inovasi bagi mahasiswanya dan segera melakukan perubahan. Jangan sampai PT terancam disrupted dengan hadirnya teknologi informasi yang semakin maju.
Sekjen Asosiasi Penyelenggara Perguruan Tinggi Indonesia (APPERTI) Taufan Maulamin, mengatakan, ditengah era digital disruption, PT di Indonesia harus bisa mengantisipasinya agar tak kalah bersaing. Karena digital distruption datang setelah era digital. Sehingga dapat mengganggu kestabilan pendidikan yang tak menggunakan internet dan teknologi digital sebagai nilai tambahnya.
Apalagi, saat ini di Indonesia ada 4.200 yayasan perguruan tinggi swasta (PTS) dan jumlah perguruan tinggi negeri (PTN) hanya sekitar 500 universitas. Dari jumlah itu, total mahasiswanya sekitar 7 juta.
“Melalui internet para mahasiswa bisa belajar dimana saja dan kepada siapa saja. Ingin bertanya apa-apa tidak perlu ke dosen, mereka cukup klik google sudah langsung ada yang menjawab. Inilah perubahan yang memang sudah ada. Meski sepertinya begitu mudah, namun masih banyak yang belum menyadari dan mengantisipasi perubahan tersebut. Sehingga para dosen harus berhati-hati dalam berkompetisi dengan sumber-sumber pengetahuan alternatif tersebut,” katanya disela-sela Seminar Nasional APPERTI, bertema “Tantangan PT di Era Digital Disruption”, di Jakarta, Jumat (05/01).
Dijelaskan, untuk mencetak mahasiswa yang siap menghadapi perubahan tersebut pemerintah perlu membantu berkembangkan PT, khususnya PTS. Salah satunya dengan membatasi jumlah mahasiswa yang diterima oleh PTN. Dengan begitu, pemerintah harus mendorong PTN menjadi world class university dan membatasi jumlah mahasiswanya. Karena selama ini, setiap tahun PTN banyak sekali menjaring mahasiswa baru. Sehingga pemerintah tak perlu lagi membantu PTS dalam hal pendanaan.
“Apabila anggaran untuk pembinaan dan pengembangan PTN tetap, tapi jumlah mahasiswanya yang diterima bertambah terus setiap tahun, hal itu akan memicu masalah. Dengan dibatasi calon mahasiswa baru, maka mereka akan memilih ke PTS.
Karena nyatanya, PTS tidak diberikan fasilitas seperti yang diterima PTN. Apalagi, PTS tidak disediakan gedung yang bebas pajak bumi dan bangunan (PBB). Namun, kami juga tidaj meminta sejumlah fasilitas tersebut. Kami di PTS hanya berharap adanya keberpihakan pemerintah,” ungkapnya.
Sementara itu, Dewan Penasehat APPERTI Rizal Ramli menambahkan, mahasiswa yang lahir di era digital, memiliki budaya yang sangat berbeda dengan mahasiswa generasi sebelumnya. Karena mahasiswa saat ini memiliki akses terhadap informasi, jaringan yang lebih mendunia. Sehingga bisa lebih update dari para dosennya. Selain itu, para mahasiswa juga sudah terbiasa berdialog menggunakan sosial media tanpa memandang lawan bicaranya yang lebih tua atau muda.
“Melihat kondisi seperti itu, PT dan segala civitas akademiknya harus belajar untuk lebih demokratis. Karena nantinya akan berhadapan dengan generasi yang tidak manut begitu saja. Selain itu, proses pengajaran dan fasilitas pendukung kegiatan pembelajaran di PT juga harus diubah. Misalnya, terkait tempat perkuliahan yang tidak harus dilakukan di dalam ruangan tapi bisa di ruang terbuka, walaupun teori penting tapi tantangan dan pengalaman lebih penting,” ucapnya yang juga mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman ini.
Diakuinya, banyak problematika di dunia PTS yang harus diselesaikan bersama. Di antanya, uji kompetensi yang harus dijalankan oleh lembaga sertifikasi terakreditasi. Juga soal perizinan pendirian, yang harus dipercepat. Oleh sebab itu, PT di Indonesia harus mulai terfokus tidak hanya pada formalitas, seperti akreditasi atau sekadar mengejar angka sertifikasi dosen. Namun hal yang lebih utama adalah membangun budaya akademik.
“Terciptanya PT di Indonesia tidak bisa instan, kalau budaya akademik tidak dibangun. Selain itu, juga tidak bisa dilakukan dengan hanya melengkapi dokumen. Apalagi untuk masuk dalam daftar PT yang diakui dunia, tidaklah mudah. Karena di zaman ini orang tidak perlu masuk PT untuk mempelajari ilmu tertentu. Mereka bisa ikut kuliah di mana saja. Bahkan, kalau seseorang ingin bekerja banyak sekali keterampilan yang bisa dipelajari secara mandiri dari internet,” ulasnya.
Menurut dia, di dunia maya sekarang banyak kelas yang lebih berkualitas dari kelas di PT. Bahkan, untuk belajar di universitas terbaik di dunia sangat mudah. Karena ada aplikasi seperti Coursera, EdX yang memungkin para mahasiswa mengambil kuliah dari universitas terbaik di dunia. Bahkan, kelas yang ditawarkan pun sangat berkualitas dan gratis tanpa dipungut biaya.
“Kondisi ini harus menjadi dorongan seluruh civitas akademik untuk memanfaatkan kesempatan ini. Selain untuk mengupdate pengetahuan, juga untuk berjejaring dengan akademisi di berbagai belahan dunia. Oleh sebab itu, PT harus mampu menawarkan apa yang tidak bisa ditawarkan oleh pembelajaran online tersebut,” imbuhnya.
Tak dipungkiri, lanjut Rizal, nantinya akan banyak pekerjaan yang digantikan oleh robot. Sehingga pengaruh teknologi pada pekerjaan akan menghilangkan beberapa pekerjaan. Pekerjaan yang dibutuhkan adalah pekerjaan yang mengandung unsur kemanusiaan, membutuhkan kepeduliaan, kreativitas dan inovasi. PT harus mendorong semua civitas akademik agar sadar hal itu. Karena itu merupakan tantangan bagi dunia pendidikan dalam menyiapkan lulusannya agar dapat bersaing di dunia kerja masa depan.
“Secara umum saat ini kami masih menyiapkan lulusaannya untuk pekerjaan abad ke-20. Hal itu kami lakukan karena daya saing bangsa kita masih rendah. Sehingga tenaga terampil yang tercipta sesuai kualifikasi pun terbatas. Semua itu terjadi lantaran adanya problem inovasi. Makanya, PT harus berani beralih dari kurikulum standar yang digunakan saat ini ke kurikulum modular. Di mana, masing-masing mahasiswa dapat membuat kombinasi modul mata-kuliahnya sesuai kebutuhan unik dari para pemberi kerja melalui modul-modul yang tersedia,” tutupnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved