Industri sawit merupakan industri strategis dalam perekonomian nasional. Selain penyumbang devisa terbesar saat ini, industri sawit juga berperan penting dalam pembangunan ekonomi daerah.
Keberlanjutan perkebunan sawit harus dipastikan dengan legalitas yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun, sepertinya legalitas kebun sawit di Indonesia memerlukan penyesuaian. Setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138 Tahun 2015, proses legalisasi lahan sawit menjadi lebih sulit, karena legalitas tersebut mengharuskan terpenuhinya izin Hak Guna Usaha (HGU)
“Sebelum Putusan MK Nomor 138/2015, proses perizinan perkebunan sawit mengacu pada UU Nomor 39/2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 42, yakni pembangunan kebun sawit atau pengolahan CPO dapat dilakukan jika telah memiliki HGU atau Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau kedua-duanya. Kemudian, pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945,” kata mantan Menteri Pertanian, Bungaran Saragih kepada politikindonesia.com usai membuka Seminar Nasional bertema, “Status Lahan Kebun Sawit dan Sertifikasi Pascaputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138 Tahun 2015”, di Jakarta, Rabu (05/09).
Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah turun tangan dalam upaya legalisasi lahan perkebunan sawit. Hal ini penting, agar pemilik lahan sawit di Indonesia segera mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Sebab, tanpa adanya legalitas lahan, maka kinerja industri sawit sebagai salah penyumbang besar dalam perekonomian akan terganggu.
"Bagaimana caranya supaya ini tidak menjadi masalah legalitas. Sebelum itu terjadi, seolah-olah kita tidak legal. Kelihatan sudah ada yang mempersoalkan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Makanya, kami berharap pemerintah bisa memberikan jalan keluar kepada pelaku industri sawit untuk memperoleh HGU, lalu kemudian memperoleh sertifikat ISPO,” ungkapnya.
Dia menjelaskan, padahal sebelum putusan MK Nomor 138/2015, dengan IUP legalitas lahan bisa diterima. Namun, saat ini harus ada HGU. Sehingga banyak lahan sawit di Indonesia yang tidak bisa ISPO. Apalagi, saat ini banyak perkebunan sawit yang sudah terlanjut dibangun dan bahkan sebagian sudah dipanen dengan hanya mengantongi IUP dan belum atau masih proses pengurusan memiliki HGU. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan Pasal 42 UU 39/2014.
“Sehingga dengan ada Putusan MK Nomor 138/2015, perkebunan sawit yang belum memiliki HGU, meskipun telah ber-IUP dinilai illegal atau belum memiliki legalitas. Padahal, putusan MK itu belum operasional karena harus diimplementasikan lebih lanjut dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan selanjutnya dalam Peraturan Menteri. Sehingga hal ini menciptakan kekosongan hukum atau ketidakpastian hukum bagi perkebunan sawit nasional,” ujar Bungaran.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan, Ditjen Perkebunan, Kementerian Pertanian, Dedi Junaedi, mengakui masih banyak pelaku usaha di sektor perkebunan sawit yang belum mengantongi sertifikat ISPO. Terbukti, hingga saat ini, dari 561 korporasi maupun koperasi yang bergerak di sektor perkebunan sawit, masih ada sekitar 100-an koperasi maupun korporasi yang belum mendapatkan sertifikat ISPO.
"Hingga saat ini jumlah sertifikat ISPO yang telah diterbitkan baru mencapai 346 sertifikat. Diantaranya, 4 koperasi dan 342 korporasi dari total 561 perusahaan yang sudah laporkan laporan akhir. Justru dengan adanya putusan MK tersebut mendorong perusahaan segera memproses perizinan, IUP dan HGU. Sehingga bisa mendorong juga percepatan sertifikasi ISPO,” tuturnya.
Dia mengatakan, ada pun kendala yang paling sering dihadapi pelaku usaha sektor sawit untuk memperoleh sertifikat ISPO berkaitan dengan aspek legalitas lahan. Pelaku usaha perkebunan sawit wajib untuk memiliki izin perkebunan dan hak atas tanah sebagai salah satu persyaratan wajib untuk dapat menjalankan usaha di bidang perkebunan. HGU adalah salah satu prasyarat untuk mendapatkan sertifikasi ISPO.
“Selama ini yang menjadi hambatan utama adalah aspek legalitas lahan karena banyak perusahaan setelah mendapatkan IUP, tidak segera mengurus HGU. Makanya, kami berharap, untuk ke depannya semakin banyak pengusaha sawit yang serius mengurus legalitas usahanya. Sehingga dapat memperoleh sertifikat ISPO yang penting bagi produk sawit Indonesia, terutama dalam persaingan memasuki pasar global,” tutupmya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved