Komite Nasional Gempa Bumi mutlak diperlukan. Pasalnya, statistik menunjukkan intensitas terjadinya gempa semakin tinggi, sehingga perlu kampanye pengarusutamaan sadar gempa, yang lebih terukur, dan terarah. Keberadaan forum atau komite tersebut akan meningkatkan sinergi antarahli gempa dari beragam latar keilmuan dan institusi.
Wacana tersebut mengemuka dalam Diskusi Nasional Pakar Gempa bertajuk “Link and Match Dalam Usaha Pengkajian dan Mitigasi Bencana Gempa”, di Istana Presiden, Kamis (03/06). Acara yang melibatkan 25 pakar gempa dari berbagai perguruan tinggi, lembaga riset, maupun lembaga pemerintahan itu, digagas Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, Andi Arief, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Syamsul Ma'arif.
Para ahli gempa ternama yang hadir dalam diskusi tersebut, antara lain Dr. Danny Hilman (LIPI), Dr. Wahyu Triyoso (ITB), Prof. Dr. Dwikorita Karnawati (UGM), Dr. Sukhyar (Badan Geologi ESDM), Dr. Prih Haryadi (BMKG). Tidak ketinggalan dua pakar gempa dari Australia, Prof. Dr. Phil Cummins dan Dr. Trevor Dhu.
“Pendirian forum atau komite gempa akan mampu menghilangkan sekat-sekat antarahli atau institusi, sehingga bisa dicapai sinergi bersama untuk hasil lebih maksimal,” kata Andi Arief kepada politikindonesia.com, Kamis sore (03/06).
Lembaga kegempaan itu juga diharapkan jadi wadah penggodokan pandangan-pandangan strategis mengenai mitigasi, adaptasi, dan antisipasi gempa, untuk disampaikan sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam mengambil kebijakan.
Selama ini, riset dan pengembangan kajian gempa oleh berbagai akademisi maupun lembaga pemerintahan, belum terkoordinasi dengan baik. Padahal, intensitas terjadinya gempa semakin tinggi. Karena itu, diperlukan sebuah forum untuk mengakomodir hal itu, sehingga ada kesamaan pandangan dalam menyikapi masalah kegempaan di Tanah Air.
Dalam acara itu, para pakar antara lain membicarakan perihal minimnya sinergi antar stakeholders kegempaan, juga upaya mempromosikan mitigasi bencana, studi kegempaan di perguruan tinggi, serta komunikasi mengenai resiko kegempaan.
Pendidikan Kegempaan
Terkait dengan pendidikan kegempaan di perguruan tinggi, wakil-wakil dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mempresentasikan persiapan pendirian program pascasarjana kajian gempa bumi dan tektonik aktif. Pendirian program ini dilatarbelakangi oleh minimnya pengetahuan tentang sesar aktif dan kegempaan di Pulau Jawa dan Indonesia secara umum.
“Kami prihatin karena sedikit sekali peneliti dari perguruan tinggi atau lembaga penelitian yang melakukan riset dengan topik tersebut,” ujar Danny Hilman, ahli gempa dari LIPI.
Meski begitu, diakui sedikitnya riset kegempaan di Indonesia tak terlepas dari minimnya dukungan dana untuk program-program mitigasi bencana, seperti riset. Kepala BNPB Syamsul Ma’arif memaparkan, politik anggaran Indonesia memang masih menitikberatkan perhatian pada program-program pascabencana. Anggaran mitigasi bencana saat ini hanya senilai Rp15 miliar per tahun.
“Mitigasi bencana merupakan upaya menghindarkan jumlah korban lebih besar sebelum bencana terjadi. Karena itu, perlu dicari cara agar perhatian terhadap mitigasi bencana mendapatkan porsi lebih memadai dalam APBN,” kata Syamsul Ma’arif.
Sebelumnya, Erick Ridzky, asisten Staf Khusus Presiden Bidang Bantuan Sosial dan Bencana, yang menjadi ketua penyelenggara acara itu mengatakan, hasil pertemuan para ahli tersebut akan disosialisasikan agar dapat secara luas diketahui oleh masyarakat.
© Copyright 2024, All Rights Reserved