”Terdakwa Achmad Djunaidi terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan menjatuhkan pidana delapan tahun penjara," kata Ketua Majelis Hakim Sri Mulyani saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (29/4).
Tok... tok... tok... Palu hakim pun diketuk. Selain pidana penjara, Hakim juga menghukum Djunaidi untuk membayar denda Rp200 juta subsider enam bulan berikut kewajiban membayar uang pengganti Rp66,625 miliar yang bila tidak dibayar dalam waktu satu bulan putusan itu berkekuatan hukum tetap maka akan dilakukan penyitaan harta untuk dilelang atau tambahan pidana satu tahun penjara.
Djunaidi, bersalah karena menyetujui investasi surat utang jangka menengah (Medium Term Notes/MTN) dengan total senilai Rp311 miliar itu diberikan atas penawaran empat perusahaan masing-masing PT Dahana (Rp97,8 miliar), PT Sapta Pranajaya (Rp100 miliar), PT Surya Indo Pradana (Rp80 miliar), dan PT Volgren (Rp33,2 miliar).
Pembelian investasi itu, menurut Hakim, dilakukan tanpa analisa mendalam yang disebut pelanggaran prosedur dan asas kehati-hatian (prudential). Menurut Hakim, perbuatan itu dilakukan secara melawan hukum yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Achmad Djunaidi, Mantan Direktur Utama PT Jamsostek yang hadir didampingi tim kuasa hukumnya yang diketuai Tjokorda Made Ram, menyatakan pikir-pikir atas putusan tersebut. Sedangkan tim Penuntut Umum yang diketuai Heru Chairuddin langsung banding.
Dari sinilah kemudian insiden baru muncul. Mendengar perkataan JPU, Djunaidi langsung berdiri dan mengambil papan pengenal di meja Penuntut Umum. Dengan muka merah dan nada emosi ia berkata, ”Ini dendam pribadi ya? Kalian ingin lihat saya mati?” Saking emosinya, Djunaidi melemparkan papan kayu berukir itu ke arah salah seorang Jaksa, namun tidak kena.
Ruangan sidang pun berubah ricuh. Pengunjung pengadilan berbondong-bondong melihat keributan dalam ruang sidang itu. Djunaidi yang dikerumi wartawan perihal kericuhan mengaku menuding Jaksa yang menangani perkaranya menerima uang sebesar Rp600 juta juga Rp1 miliar dari PT Sapta Prana Jaya kepada saksi Walter Sigalingging. ”Jaksa sudah meminta uang Rp600 juta,” kata Djunaidi.
Ia mengatakan bahwa Jaksa telah menerima uang sebesar Rp600 juta dan dia hanya menjadi korban politik serta dicopot dari jabatannya. Ketika dicecar lebih jauh oleh wartawan, Djunaidi menolak memerinci kapan, dimana dan siapa saja Jaksa yang menerima uang yang ia sebutkan itu, berikut bukti-bukti pemberian uang.
Sementara itu, JPU Heru Chairuddin membantah perihal penerimaan uang tersebut. ”Tidak ada uang-uang seperti itu,” ujar Heru.
Namun, bola yang dilempar Djunaidi kemudian berkembang. Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh memerintahkan Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan (Jamwas) Achmad Loppa untuk menyelidiki kebenaran ini.
”Jaksa Agung telah memerintahkah Jamwas untuk mengecek kebenaran pernyataan tersebut dan melakukan pemeriksaan terhadap terdakwa Djunaidi dan para Jaksanya,” kata Masyhudi Ridwan, mantan Kapuspenkum Kejaksaan Agung di Jakarta.
Menurut Masyhudi, pihak yang akan diperiksa oleh Jamwas adalah mantan Dirut Jamsostek Achmad Djunaidi karena Djunaidi bertindak sebagai pihak yang mengungkap pemberian uang pada Jaksa.
Menurut Masyhudi, pihak Kejaksaan akan memfokuskan pemeriksaan atas pernyataan Djunaidi mengenai pemberian uang Rp600 itu kepada Jaksa, bukan pada masalah pelemparan pada Jaksa.
Masyhudi mengatakan, dirinya telah mengkonfirmasikan isu penerimaan uang oleh Jaksa pada Kajari Jakarta Selatan, Iskamto. Sesuai keterangan Kajari Jakarta Selatan, lima Jaksa yang menangani perkara Achmad Djunaidi itu telah menyatakan tidak pernah menerima uang dari terdakwa. Lima Jaksa itu adalah Heru Chairuddin dan Pantono dari Pidsus Kejagung, MZ Idris dari Kejati DKI Jakarta serta Burdju Ronni dan Cecep dari Kejari Jakarta Selatan. ”Mereka juga siap untuk diperiksa,” kata Masyhudi menambahkan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved