Wacana yang dilontarkan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tentang cost sharing terhadap 8 penyakit yang berbiaya tinggi (katastropik), berkembang menjadi isu liar yang meresahkan publik. Sejumlah kalangan, mengkritik wacana tersebut.
Pasalnya, jika kebijakan itu diterapkan, penanganan penyakit tersebut, pendanaannya tidak lagi ditanggung sepenuhnya oleh BPJS Kesehatan, melainkan dibebankan kepada pasien. Penyakit itu antara lain, jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, thalasemia, sirosis hati, leukimia dan hemofilia.
“Wacana itu kurang tepat, saya minta dipertimbangkan lagi," kata Anggota Komisi IX DPR DRI, Okky Asokawati kepada politikindonesia.com di Gedung DPR, Jakarta, Senin (27/11).
Politisi perempuan dari Partai Persatuan Pembangunan ini menambahkan, mengacu pada UUD 1945, negara diamanatkan harus hadir dan menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. “Jangan sampai, kemudian masyarakat diminta membayar dan menanggung biaya sendiri terhadap penyakit tertentu. Artinya, kalau masyarakat harus membayar sendiri, negara tidak hadir untuk menyejahterakan rakyatnya,” ujar perempuan kelahiran Jakarta, 6 Maret 1961.
Okky tidak setuju dengan wacana tersebut , meski dengan alasan untuk mengatasi pembekakan defisit yang terjadi di BPJS Kesehatan.
“Bukan supaya tidak ditanggung, tetapi bagaimana BPJS Kesehatan sendiri kemudian juga transparan dalam hal keuangannya. Transparan ketika membuat rencana kerja anggaran tahunannya dan transparan di dalam membuat perjanjian-perjanjian, baik dengan pelayanan kesehatan maupun pelayanan obat," katanya.
Kepada Elva Setyaningrum, sarjana psikologi lulusan Universitas Indonesia itu menyampaikan sejumlah saran dan kritiknya terkait pengelolaan BPJS Kesehatan. Berikut petikan wawancaranya.
Dari mana munculnya wacana penghapusan tanggungan pembiayaan 8 penyakit oleh BPJS itu?
Berita penghapusan tanggungan pembiayaan terhadap 8 penyakit yang berbiaya tinggi itu bermula dari rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX DPR dengan BPJS Kesehatan, pada pada Kamis (23/11) lalu.
Dalam RDP tersebut, BPJS Kesehatan mengeluhkan defisit anggaran mereka yang mencapai Rp9 triliun pada tahun ini. Lantas, guna mengatasi defisit tersebut, pihak BPJS melontarkan wacana cost-sharing terhadap 8 penyakit kronis tersebut.
Menurut BPJS Kesehatan, penyakit tersebut menjadi penyebab defisit karena pengobatan berlangsung lama sehingga pengobatannya akan dibebankan kepada pasien.
Apa tanggapan anda atas keinginan BPJS tersebut?
Apabila wacana tersebut diterapkan menjadi kebijakan, itu tidak adil dan sangat merugikan pasien. Soalnya, ke-8 penyakit tersebut adalah penyakit yang banyak dialami oleh masyarakat secara umum. Bahkan, banyak diderita oleh masyarakat kelas menengah ke bawah yang mengandalkan biaya pengobatan kepada BPJS.
Komisi IX DPR mengingatkan, agar BPJS Kesehatan harus membahas terlebih dahulu rencana pembatasan pembiayaan tersebut bersama kami di DPR. Hal itu agar tidak melanggar UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Karena ini menyangkut amanah UU.
Kami akan segera memanggil pihak BPJS Kesehatan untuk jelaskan rencananya. Menurut saya, sistem pelibatan peserta BPJS Kesehatan untuk mendanai biaya perawatan peserta lain bisa dilakukan jika terkena penyakit langka dan membutuhkan biaya sangat besar. Namun, jika penyakit masyarakat seperti jantung, stroke dan kanker, gagal ginjal sudah masuk kategori resiko umum.
Bagaimana dengan defisit BPJS yang mencapai Rp9 triliun?
Saya sendiri merasa kaget, adanya defisit pada anggaran BPJS Kesehatan sebanyak itu. Karena yang saya ketahui dari laporan Kementerian Keuangan, jumlah defisitnya hanya sebesar Rp3 triliun.
Saya juga mengkritik BPJS Kesehatan, yang terkesan kurang transparan. Mereka tidak pernah bilang yang masuk anggarannya berapa, kemudian yang keluar berapa. Jadi kalau rapat hanya keberhasilan-keberhasilan mereka.
Menurut Anda, bagaimana cara mengatasi defisit tersebut?
Sebetulnya aset BPJS Kesehatan bisa digunakan untuk menutup defisit keuangan tersebut. Sayangnya, BPS Kesehatan belum pernah menginformasikan kepada kami berapa besar aset yang dimilikinya sekarang.
Padahal, BPJS Kesehatan juga punya aset berupa surat berharga, deposito, obligasi, saham, dan reksadana.
Selama ini yang dilaporkan manajemen keuangan BPJS, selalu soal defisit. Dari sudut klaim yang lebih besar daripada iuran yang masuk. Satu-satunya cara yang dapat ditempuh BPJS Kesehatan untuk menutupi defisitnya adalah dengan mengontrol biaya klaim dan manajemen, selama iuran kepesertaan belum bisa menyesuaikan dengan nilai keekonomian.
Untuk mengatasi defisit keuangan, sebaiknya BPJS Kesehatan jangan langsung tidak membiayai 8 penyakit berat tersebut. Cara mengatasinya adalah menambah kuota kepesertaan BPJS Kesehatan itu sendiri. Namun yang terpenting adalah BPJS Kesehatan harus memperbaiki masalah transparansi dalam administrasinya.
Transparan yang dimaksud adalah ketika membuat rencana kerja anggaran tahunannya dan transparan di dalam membuat perjanjian-perjanjian, baik dengan pelayanan kesehatan maupun pelayanan obat. Hal itu agar tidak ada yang merasa dirugikan khususnya peserta BPJS kesehatan.
Soal rencana cost sharing tersebut, anda punya saran?
Saya minta wacana itu dipertimbangkan kembali. BPJS Kesehatan harus berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan sebelum memutuskan kebijakan tersebut. Pihak pemerintah harus membahas terlebih dahulu rencana itu dengan DPR.
Saya setuju kalau Menteri Keuangan, Sri Mulyani mengatakan tidak akan menaikkan iuran BPJS Kesehatan selama BPJS Kesehatan belum memperbaiki sistem administrasi, operasionalisasi dan lainnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved