Satu tim dari Mabes Polri, Kamis 18 November lalu, berangkat menuju Bandara Schiphol, Amsterdam Belanda. Tim itu sebanyak enam orang, yakni empat ahli forensik, seorang penyidik dan seorang pejabat Departemen Luar Negeri. Ketua Komisi untuk orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Usman Hamid, seharusnya ikut bergabung dalam tim itu. Tetapi untuk alasan independensi, Usman memilih berangkat sendiri. Aktivis HAM itu telah tiba di Amsterdam satu hari terlebih dahulu sebelum kedatangan tim Mabes Polri.
Walau berangkat dengan pesawat berbeda, tetapi tujuan Usman Hamid dan Tim Mabes Polri tidak berbeda. Mereka sama-sama ingin menemui tim foresik di Netherland Forensik Institute (NFI). Tujuannya, menanyakan akurasi hasil otopsi terhadap jenazah Munir sekaligus meminta data-data otentik hasil otopsi tersebut.
Perjalanan ke Belanda itu merupakan langkah awal Polri untuk mengusut misteri dibalik kematian Munir. NFI merupakan tujuan utama, sebab lembaga itulah yang pertama kali melakukan otopsi terhadap jenazah Munir. Sebuah hasil otopsi yang sangat mengejutkan, karena NFI menemukan adanya racun berbahaya jenis arsenik di dalam tubuh aktivis HAM tersebut.
NFI menyebutkan, jumlah arsenik di tubuh Munir mencapai 460 mg. Racun tersebut menyebar di bagian lambung, urine dan darah. Jumlah arsenik sebanyak itu tergolong luar biasa karena mampu membunuh lima orang dalam waktu singkat. Hasil penelitian itu keluar beredar setelah 65 hari kematian Munir.
Taka pelak lagi, hasil penelitian itu langsung memicu kontroversi bahwa Munir sangaja dibunuh dengan menggunakan racun arsenik. Penyebaran racun itu kemungkinan besar dilakukan lewat makanan atau minuman. Berlangsung selama penerbangan dari Jakarta ke Amsterdam.
Kabar itu tentu saja membuat kehebohan di Tanah Air. Istri Munir, Suciwati, Jumat 12 November lalu, kemudian mendatangi Mabes Polri untuk meminta hasil otopsi dari Belanda itu. Tetapi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri, Komjen Suyitno Landung menolak memberikannya. Alasannya, Polri masih melakukan penyelidikan lebih lanjut tentang hasil penelitian itu. “Data otopsi itu masih perlu klarifikasi dari pihak NFI,” ujar Suyitno.
Untuk penyelidikan lanjut, Mabes Polri telah membentuk dua tim khusus. Tim pertama bertugas untuk menganalisa hasil forensik NFI, termasuk meminta data otentik dari rumah sakit Belanda. Tim kedua, melakukan investigasi terhadap perjalanan Munir hingga kematiannya di pesawat Garuda 7 September lalu.
“Tim sudah bekerja. Tim yang ke Belanda tujuannya untuk mendapatkan data otopsi lebih detil,” kata Kapolri Jenderal Da’i Bachtiar. Sedangkan tim investigasi akan memeriksa beberapa orang yang menjadi saksi sebelum kematian Munir. Saksi yang akan diperiksa, antara lain kru pesawat Garuda dan beberapa orang penumpang yang ikut dalam penerbangan itu.
Sebenarnya sejumlah aktivis HAM di Indonesia menuntut agar pemerintah membentuk Komisi Khusus untuk menyelidiki peristiwa itu. Surat permohonon sudah dikirim kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dua pekan lalu. “Kita berharap komisi Khusus ini akan bekerja lebih independen dan mendapat akses lebih luas dari pemerintah,” kata Direktur Eksekutif Imparsial, Rachland Nashidik.
Sayangnya, sampai pekan ini, tampaknya belum ada tanda-tanda presiden mengabulkan permohonan itu. Tanpa komisi itupun, sebenarnya sudah ada beberapa tim yang mencoba melibatkan diri mengusut kasus kematian Munir. Selain dari kalangan aktivis HAM dan Mabes Polri, sejumlah anggota DPR juga membentuk tim yang sama.
M Hatta, Ketua Fraksi Partai Golkar yang menjadi salah satu penggagasnya menyatakan, tim khusus bentukan DPR untuk mendorong dan mengawasi kinerja pemerintah dalam mengungkap kasus kematian Munir. “Tim yang kami bentuk bukan untuk mencampuri pemerintah, tapi semata mendukung setiap kebijakan mengusut kasus itu,” katanya.
DPR terpanggil untuk peduli terhadap kasus ini mengingat kematian Munir saat ini bukan hanya menjadi isu nasional, tetapi sudah hangat dibicarakan di tingkat internasional. Sejumlah media di Eropa berkali-kali menjadikan peristiwa itu sebagai berita utama. Koran sore Belanda NRC Handelsblad dan harian pagi Trouw serta De Volkskrant bahkan dengan lantang menyebut kalau kematian Munir merupakan bagian dari konspirasi politik di dalam negeri.
Wajar saja, sebab Munir memang bukan orang sembarangan. Ia terkenal sebagai sosok yang berani memperjuangkan hak orang-orang tertindas. Hampir selama hidupnya, Pria kelahiran Malang, 8 Desember 1965 menghabiskan waktu menggeluti persoalan HAM.
Sejak menyelesaikan pendidikan dari Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, Munir telah bergulat dengan konflik yang diderita rakyat kelas bawah. Ia memulai karir sebagai pengacara di Lembaga bantuan Hukum (LBH) Surabaya. Karirnya terus menanjak hingga diangkat sebagai direktur di lembaga itu. Pada 1997 ia pindah ke Jakarta dan aktif sebagai pengurus di YLBHI. Sejak itu, Munir pun banyak terlibat menangani kasus pelanggaran HAM tingkat nasional.
Nama Munir semakin mencuat lewat Kontras, sebuah lembaga yang dibentuknya khusus untuk mengadvokasi orang-orang yang diculik dan korban kekerasan. Usai berkarir di Kontras, Munir membentuk Imparsial, lembaga yang belakangan banyak menangani kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
Atas dedikasinya yang tinggi terhadap pembelaan HAM, sejumlah penghargaan telah berhasil diraih ayah dua anak itu. Antara lain Yap Thian Hien Award, Right Livelihood Award – sebuah penghargaan internasional yang hampir setara dengan hadiah Nobel – serta penghargaan dari UNESCO (Badan PBB untuk Ilmu Pengetahuan, Pendidikan dan Kebudaayaan).
Masih banyak tugas yang harus diselesaikan pria berdarah Arab ini untuk penegakan HAM di Indonesia. Sambil berjuang, Munir pun memutuskan untuk memperdalam ilmu hukum di Belanda. Pada 6 September lalu, ia berangkat ke Belanda untuk melanjutkan studi S2 di Universitas Utrecht. Istrinya, Suciwati turut mengantar hingga Bandara Soekarno-Hatta.
Sampai hari itu, menurut Suci, tidak ada tanda-tanda keanehan pada Munir. “ Ia terlihat lebih girang. Kami sempat berfoto bersama,” ujar Suciwati. Munir berangkat pada pukul 21.55 WIB dengan pesawat Garuda Boeing 747-400 nomor penerbangan GA-974.
Pesawat sempat transit selama satu jam di Bandara Changi, Singapura. Selama di Singapura, Munir berkenalan dengan dr Tarmizi Hakim, seorang ahli bedah jantung Rumah Sakit Harapan Kita yang juga ikut dalam penerbangan itu. Mereka ngobrol sejenak hingga penerbangan berlanjut ke Amsterdam pada pukul 00.40 waktu setempat. Tarmizi duduk di kelas bisnis, sedangkan Munir di kelas ekonomi.
Baru tiga jam dalam perjalanan, mulai terlihat tanda-tanda mencurigakan pada Munir. Ia muntah-muntah. Lehernya gatal, tubuhnya berkeringat dan kakinya mengalami keram. Berkali-kali ia bolak balik ke toilet. Seorang pramugari berusaha menenangkannya dengan memberi obat diare. Tetapi semua itu tidak membantu. Munir terus mengalami berbagai keanehan. Tarmizi yang diberitahu tentang kondisi itu, turut membantu. Suasana agak reda setelah Munir minta ditidurkan di lantai bawah dekat toilet.
Esoknya, sekitar pukul 06.10 waktu setempat – dua jam sebelum mendarat di Bandara Schiphol, Amsterdam -- seorang pramugari mendekati Munir untuk melihat situasi. Tidak ada reaksi ketika ia dipanggil beberapa kali. Setelah diperiksa, barulah diketahui, ternyata mantan aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu telah dipanggil Sang Khalik.
Pilot langsung melakukan kontak dengan petugas medis di Bandara Schiphol. Begitu mendarat, jenazah Munir kemudian diotopsi di Rumah Sakit Netherland. Hasil otopsi itulaj yang kemudian memicu kecurigaan banyak pihak, sebab di tubuh Munir ditemukan racun arsenik yang sangat berbahaya.
Jauh sebelum hasil NFI keluar, sebenarnya sudah ada kecurigaan adanya kejanggalan di balik kematian Munir. Di beberapa daerah sempat muncul aksi tuntutan agar polisi mengusut kematian yang mendadak itu. Aksi unjukrasa tidak hanya muncul di Jakarta atau di Malang – tempat di mana Munir dimakamkan -- tetapi juga di Irian Jaya. Namun pihak keluarga dan rekan-rekan Munir lainnya masih berusaha menahan diri sampai menunggu keluarnya hasil otopsi NFI.
Kini, setelah hasil otopsi itu beredar, maka semakin besar keyakinan orang bahwa Munir telah dibunuh secara sistematis. “Kami yakin yang meracuni Munir tidak tunggal, tetapi sejumlah orang,” kata Kepala Bidang Operasional Kontras, Edwin Partogi. Kontras mengaku mencurigai beberapa orang di dalam pesawat sewaktu dalam perjalanan Jakarta ke Singapura.
“Ada beberapa orang yang menawarkan kepada Munir untuk pindah dari kursi ekonomi ke bisnis. Kami minta agar polisi mengusut orang itu,” kata Edwin. Orang yang dimaksud Kontras itu hanya berhenti di Singapura.
Belum jelas sejauh mana kebenaran dugaan Kontras tersebut. Polri sendiri baru pekan ini melakukan pemeriksaan terhadap orang-orang yang dekat dengan Munir. Dalam daftar polisi, tercatat ada beberapa nama yang akan dipanggil. Antara lain kru Garuda yang ikut dalam penerbangan itu, dr Tarmizi, serta beberapa penumpang lainnya.
Tentu tidak mudah bagi Polri untuk mengusut kasus ini, apalagi jika kelak nantinya terkait dengan beberapa lembaga. Karena itu, wajar jika para aktivis HAM banyak yang pesimis kalau polisi akan bisa mengungkap kasus dibalik kematian tokoh HAM itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved