Pasang surut kehidupan pers nampaknya masih terus mewarnai kehidupan sosial Indonesia. Berbagai pro kontara dan perdebatan masih akan terus muncul mengiringi kehadiran kebebasan pers di tanah air.
Sekali waktu kantor redaksi Jawa Pos di Surabaya, mekipun tidak dirusak, tapi didatangi oleh Banser gara-gara salah sebuah pemberitaannya dinilai menyudutkan komunitas Nahdlatul Ulama (NU). Akibatnya, para redaktur ketakutan dan mengalami keterlambatan satu edisi.
Kemudian salah satu tabloid di Padang, Bijak, didemo mahasiswa salah satu perguruan tinggi. Lalu, sebuah stasiun radio diharuskan tutup satu bulan, tetapi baru satu minggu sudah mengudara kembali. Para demonstran menilai salah satu acara wicaranya (talkshow) mengenai agama Kristen dianggap menyudutkan agama Islam.
Di Jakarta, kantor redaksi Harian Terbit, beberapa bulan lalu didemo para sopir taksi. Pangkalnya, saah satu pemberitaanya menyebutkan pengemudi merampok penumpang dan ternyata nama perusahaannya salah. Para pengemudi dari perusahaan yang salah diungkapkan itu menuntut, karena mereka menderita kerugian.
Ada kebebasan yang tercekat aksi-aksi kekerasan sebagian warga masyarakat. Belum lagi hambatan kebebasan dari sisi aturan. Banyak polemik berkembang ketika hakim menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pers dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) –untuk sebuah berita yang dinilai mencemarkan nama baik misalnya.
Cekat yang lain dapat dilihat pada pasal 27 UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Secara sepintas pasal ini mengatur pembatasan relai acara tetap dari lembaga penyiaran asing bagi media pers di Indonesia. Suasana seperti ini pernah terjadi di era Soekarno yang tahun 1960-an. Saat itu pemerintah membatasi radio Indonesia merelai radio siaran asing.
Kebebasan masih menjadi impian bagi masyarakat pers khususnya dan masyarakat umum yang peduli pers. Padahal, kedudukan pers kini demikian dirasakan penting. Terlebih setelah banyak kalangan menyadari pers sebagai pilar keempat demokrasi.
"Saya juga ikut merasakan dengan teman-teman bagaimana pentingnya peranan pers itu. Selama ini saya lihat memang jaminan itu nggak tegas di konstitusi," kata anggota Komisi Konstitusi (KK) Dr. Tjipta Lesmana awal pekan lalu seusai mengikuti sidang Komisi Konstitusi di Jakarta.
Bersama anggota KK yang sama-sama pernah menjadi wartawan, Dr. Krisna Harahap, Tjipta mengatakan bahwa ia tengah mengupayakan agar kemerdekaan atau kebebasan pers masuk ke dalam konstitusi. Sedemikian mendesakkah masuk ke dalam konstitusi alias UUD?
Soal kebebasan pers sebenarnya sudah relatif baik di era reformasi lima tahun terakhir. Mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja menilai kebebasan pers di Indonesia dewasa ini sudah terbuka luas, walaupun belum sepenuhnya memuaskan kalangan media massa.
Keterjaminan kebebasan pers, menurut penerima hadiah Magsaysay ini, dapat dilihat pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Pers, yang menjatuhkan hukuman denda berat Rp500 juta atau sekitar 60.000 dolar AS, atau penjara maksimal dua tahun, bagi siapa yang menyensor, melakukan pembreidelan atau menghentikan siaran.
Lebih kuat lagi, lanjut Atmakusumah, pasal 28 UUD 1945 yang sudah diamandemen, mencantumkan mengenai kebebasan informasi atau menyiarkan informasi. UUD 1945 amandemen ke-2 tahun 2000 pasal 28F merumuskan setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.
Kemudian, jelasnya lebih lanjut, masih ada Konvensi Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik serta TAP MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak-hak Asasi Manusia yang juga menjamin arus informasi yang bebas.
Namun, Atmakusumah juga menyayangkan masyarakat kurang memahami benar arti kebebasan yang mereka peroleh, yang mengartikan kebebasan sebagai diperbolehkannya melakukan tindakan fisik berupa kekerasan, perusakan bangunan dan perkantoran serta peralatan media pers.
Tindakan-tindakan ini sebenarnya oleh media bersangkutan dapat diajukan ke pengadilan. Tetapi, kata Atmakusumah yang pernah bekerja di harian Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis, media tidak melakukannya. Malah berkompromi dan memenuhi tuntutan mereka.
Atmakusumah menilai media terlalu lemah, mudah berkompromi, tidak berani mengajukan kasus itu ke pengadilan. Masyarakat menuntut ganti rugi dibayar. Masyarakat minta kantor media ditutup, media melakukannya. Jalan terbaik, katanya, adalah melalui hukum karena negara demokrasi tidak membiarkan tindakan kekerasan.
Pasal 28I amandemen kedua UUD 1945 bisa dijadikan rambu tersendiri bari tegaknya kebebasan pers di atas hak asasi manusia. Pasal itu merumuskan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Kendati amandemen UUD 1945 pasal 28 sudah rinci memberi jaminan kebebasan mendapatkan informasi atau cikal-bakal pers, Ketua PWI Pusat Tarman Azzam tetap berharap kata-kata kebebasan pers masuk dalam klausul amandemen UUD yang akan dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 2004.
Usulan agar klausul kebebasan pers masuk ke amandemen pasal 28 UUD 1945, kata Tarman yang juga Pimred Harian Terbit, pertama kali diusulkan oleh Dr Krisna Harahap (anggota PWI Bandung), kemudian didukung Dr Tjipta Lesmana dan Albert Hasibuan (anggota PWI Jakarta). “Semua anggota Komisi Konstitusi menyetujui untuk membawa draft itu ke sidang MPR hasil Pemilu 2004,” ujarnya.
“Kalau memang klausul amandemen itu terwujud nanti, ini akan menjadi sebuah karya yang luar biasa. Untuk itu PWI akan mengacungkan tangan hormat dan rasa terima kasih tak terhingga kepada Komisi Konstitusi. Peristiwa ini akan menjadi catatan sejarah tersendiri bagi pers Indonesia,” papar Pemimpin Redaksi Harian Terbit ini kepada PILARS via telepon.
Meski begitu masih ada hal-hal yang mesti diluruskan. Misalnya, dalam klausul amandemen itu selanjutnya akan diatur dalam undang-undang. UU Nomor 40/1999 tentang Pers dianggap belum lengkap sehingga masih perlu diatur lebih lanjut oleh peraturan pemerintah (PP).
“Harus diingat, di parlemen dulu sudah disepakati tidak akan ada peraturan apa pun di bawahnya, setelah UU Pers itu lahir. Karena, semua aturan dianggap tuntas di dalam UU itu. Kalau masih harus diatur lagi dalam PP, ini sama artinya membuka peluang kembali kekuasaan untuk menggunakan kekuatan mengintervensi kehidupan pers. Jadi setiap ada pergantian rezim maka akan terjadi pula pergantian ketentuan soal pers. Ini sangat berbahaya sekali,” Tarman mengingatkan.
Tarman mengakui, UU itu memang belum lengkap dan menjadi concern PWI sejak awal bahwa UU Pers masih perlu direvisi. Sebab, tidak ada peraturan di muka bumi ini yang tidak perlu diregulasi. Selalu harus ada regulasi. “Kapan itu dilakukan sangat tergantung situasi dan kondisi,” tandasnya.
Langkah pertama yang perlu segera dilakukan, menurut Tarman, memasukkan klausul kebebasan pers ke dalam amandemen UUD 45 pasal 28. Kalau ini bisa dibuat, selanjutnya ini akan menjadi payung dalam seluruh sistem pers di Indonesia.
Konstitusi saja memang belum cukup menjadi jaminan kebebasan pers. Sejauh mana konstitusi dipatuhi oleh semua warga negara. Iadakah jaminan perlindungan bagi wartawan yang membeberkan informasi yang jujur apa adanya? “Sempat diusulkan perlindungan negara tapi ditolak oleh fraksi-fraksi di DPR. Timbul perdebatan seru yang akhirnya melahirkan perlindungan hukum bagi wartawan. Karena kata-kata yang dipakai hanya perlindungan hukum, maka hanya berupa perlindungan sebagaimana berlaku bagi warga negara umum,” papar Tarman.
Banyak aspek yang masih kurang dan perlu perbaikan dalam UU Pers sekarang. Semua aspek –perdata dan pidana-- yang selama ini diatur oleh undang-undang selain UU Pers haruslah dipikirkan untuk dimasukkan ke dalam UU Pers. Dengan begitu, Tarman berharap, UU Pers bisa benar-benar lengkap dan mampu tampil sebagai lex specialis. Ia mencontohkan pasal penghinaan dan pencemaran nama baik yang selama ini biasa dipakai hakim untuk menghukum pelaku pers.
“Dari satu segi pers tidak bisa menyalahkan keputusan hakim, supremasi hukum harus tetap dihormati. Kondisi ini menunjukkan bahwa mereka belum bisa mengakui UU Pers sebagai berlaku lex specialis. Semestinya semua aspek langsung lengkap dituangkan dan diatur UU Pers,” papar mantan anggota DPRD DKI Jakarta ini.
Mungkinkah jaminan konstitusi menjadi UU Pers lex specialis? Tergantung insan pers sendiri.
© Copyright 2024, All Rights Reserved