Perbincangan mengenai Megawati Soekarnoputri memang tidak akan pernah habis. Sebagai putri mantan Presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno, ia memang layak dibicarakan. Sebagai presiden Republik Indonesia, ia memang jadi centre point. Maka dari itu telah ratusan atau bahkan ribuan tulisan tentang dirinya, mengulas hal jelak ataupun baik. Kepemimpinan Megawati telah dirasakan rakyat Indonesia kurang lebih empat tahun ini. Sejak ia menjadi wakil presiden dan kemudian menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia. Dan, pada Pemilu 2004 yang sesaat lagi tiba,
Megawati juga akan kembali bertarung merebut kursi presiden Republik Indonesia. Banyak yang optimis Megawati akan kembali mendapatkan posisi puncak di negeri ini. Tetapi banyak pula yang yakin, bahwa ia akan segera terlempar dari kancah perpolitikan Indonesia pasca tahun 2004. Penilaian ini didasari karena Megawati dinilai tidak mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mampu membawa Indonesia keluar dari multi krisis ini.
Megawati memang seorang presiden. Tetapi apakah dia memang seorang pemimpin sejati. Pertanyaan itulah yang ingin dikupas dalam tulisan ini. Teori kepemimpinan yang melekat pada diri Megawati dapat dianalisis sebagai teori kepemimpinan tradisional dan teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Pendekatan teori kepemimpinan tradisional karena Megawati mewarisi sifat kepemimpinan Soekarno. Dalam konteks ini, masyarakat Indonesia masih melihat bahwa Megawati akan berwujud seperti Soekarno. Ekspektasi (pengharapan) masyarakat terhadap kepemimpinan gaya Soekarno tercurah pada Megawati. Karena itu tak heran jika Megawati didukung habis-habisan oleh kalangan penganut Soekarnois.
Sedangkan pendekatan teori kepemimpinan “sifat tersendiri” adalah bahwa pemimpin berbeda dengan massa rakyat karena mereka memiliki ciri atau “sifat tersendiri” yang sangat dihargai. Teori ini memunculkan teori “orang besar” yakni orang yang memiliki keinginan, sifat, dan kemampuan untuk melakukan hal-hal yang besar. Contoh orang-orang yang masuk dalam teori ini adalah Napoleon Bonaparte dan Mahatma Gandhi. Varian dari teori ini memunculkan tiga ciri yakni; manusia ulung yang menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa, pahlawan yang mengabdikan dirinya untuk tujuan yang besar dan mulia, serta pangeran yang termotivasi oleh hasrat untuk mendominasi pangeran-pangeran lainnya (Nimmo, 1999:39).
Megawati dapat dikatakan masuk dalam salah satu varian teori kepemimpinan “sifat tersendiri”. Lihat saja, Megawati dan partainya menjadi sasaran utama rezim orde baru. Ini dapat dianggap sebagai kegiatan dari varian pertama dimana seorang pemimpin menghancurkan kaidah-kaidah tradisional dan menciptakan suatu nilai-nilai baru bagi suatu bangsa.
Selain dua teori kepemimpinan diatas, kepemimpinan Megawati terasa lebih kuat kecenderungannya pada teori kepemimpinan situsionalis. Teori kepemimpinan situsionalis menyebutkan bahwa waktu, tempat, dan keadaan menentukan siapa yang memimpin dan siapa pengikut. Megawati hadir ketika masyarakat Indonesia sudah jenuh dengan gaya kepemimpinan orde baru Presiden Soeharto. Ketika emosi masyarakat meledak-ledak, Megawati muncul dengan PDI-Perjuangan. Dia beridiom bahwa partainya merupakan partai wong cilik.
Masyarakat terenggut simpati. PDI-Perjuangan memperoleh dukungan mayoritas dari rakyat Indonesia pada pemilu 1999. Dan, Megawati dihantarkan duduk menjadi pemimpin bangsa ini.
Kini setelah Megawati memimpin negeri ini selama kurang lebih lima tahun. Masih layakkah dia kembali memimpin?
Survei opini publik yang dilakukan International Foundation for Election System (IFES) tahun 2003 menunjukkan bahwa Megawati masih didambakan menjadi presiden pada tahun 2004 dengan memperoleh dukungan dari responden sebanyak 13,7 %. Dibawah Megawati muncul sejumlah nama seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Sri Sultan Hamengkubuwono X, Abdurrahman Wahid, Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra. Dari hasil survei ini pula terlihat bahwa Megawati lebih banyak dipilih di kalangan rural (pedesaan) ketimbang di kalangan urban (perkotaan).
Menyambut Pemilu tahun 2004 kita tentu tidak mau terjebak lagi pada model kepemimpinan yang sudah usang dan aneh. Karena teori kepemimpinan yang melekat pada Megawati bisa jadi masuk dalam kategori usang dan aneh. Pemimpin bangsa Indonesia tahun 2004 haruslah seorang pemimpin yang mampu menyatukan sifat-sifat manusia ke dalam suatu sindroma.
Inilah yang kemudian membedakan pemimpin dengan orang lain atau masyarakat biasa. Dengan sindroma yang dimilikinya, misalnya, pemimpin itu bisa menonjol karena lebih tinggi, lebih besar, lebih bersemangat, lebih pintar, percaya diri, tenang dan sebagainya. Selain itu, pemimpin juga harus merefleksikan interaksi kepribadian pada kepemimpinannya dengan kebutuhan dan pengharapan para pengikutnya.
Megawati memang kini boleh sedikit jumawa untuk menjadi presiden Republik Indonesia jika melihat hasil survei IFES. Namun yang menarik dari survei ini adalah jumlah responden yang tidak menjawab calon presiden yang akan didukungnya dalam Pemilu 2004 mendatang. Jika Megawati memperoleh dukungan 13,7%, maka “cek kosong” calon presiden yang belum diisi responden jauh diatas yang diperoleh Megawati dengan jumlah 34%. Oleh sebab itu siapapun calon pemimpin di Indonesia saat ini, bisa jadi sedang ditimbang kadar kepemimpinannya oleh seluruh rakyat Indonesia. Agar kita tak salah memilih pemimpin (lagi).
© Copyright 2024, All Rights Reserved