Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), rupanya, tak ingin ada menteri yang akan menyaingi Presiden Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden 2004. Karena itu, partai penguasa ini mendesak menteri yang menjadi kandidat presiden untuk mundur dari jabatannya.
Desakan itu ramai-ramai dikemukakan para fungsionaris PDIP setelah rapat rutin di Kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, kemarin. Rapat yang dihadiri para petinggi PDIP itu dipimpin langsung Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Menurut Wasekjen PDIP Pramono Anung, permintaan mundur itu sangat wajar. "Di negara mana pun, tidak ada yang seperti itu: menantang presiden yang sedang berkuasa. Di negara-negara Eropa, Amerika Serikat, seorang calon presiden yang masih menjabat menteri harus berhenti," katanya.
Sekadar diketahui, saat ini telah muncul beberapa nama menteri kabinet pimpinan Megawati yang mengajukan diri sebagai capres dalam Pemilu 2004. Mereka, antara lain, Menko Kesra M. Jusuf Kalla, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, serta Menkeh dan HAM Yusril Ihza Mahendra.
Kalla menjadi capres lewat konvensi Partai Golkar. Yudhoyono dicalonkan Partai Demokrat. Malah, dalam beberapa jajak pendapat terakhir, popularitas menteri asal Pacitan, Jatim, ini lebih tinggi daripada Megawati. Yusril dicalonkan Partai Bulan Bintang.
Pramono mengakui, memang tak ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur pelarangan seorang menteri menjadi capres. Namun, pencalonan menteri sebagai presiden itu jelas melanggar etika politik.
Alumnus ITB itu kemudian mempertanyakan sikap menteri yang bersaing dengan presiden tersebut. "Jika orang masih menjadi menteri mencalonkan diri menjadi presiden, apakah sesuai dengan kehidupan berbangsa ini? Ini menjadi pertanyaan besar," ujarnya.
Wasekjen PDIP Mangara Siahaan menambahkan, keharusan para menteri mengundurkan diri itu bisa dianalogikan dengan proses pemilihan gubernur. Seorang bupati yang ingin mencalonkan diri menjadi gubernur harus berhenti dari jabatannya.
"Jadi, mungkin ada kesamaan seperti itu (pemilihan gubernur, Red). Bupati yang akan menjadi calon gubernur harus berhenti terlebih dulu," ujarnya.
Mangara mempertanyakan, mengapa para menteri yang mencalonkan diri sebagai presiden tak pernah dipersoalkan. Bahkan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun tak pernah memperingatkan mereka. "Saya tak tahu, bagaimana KPU memutuskan jika menteri menjadi calon presiden."
Sementara itu, Ketua PDIP Roy B.B. Janis berharap agar persoalan menteri yang menjadi capres harus mengundurkan diri itu menjadi wacana budaya politik. Sebab, akibat dari tindakan tersebut, mereka dapat dikatakan tidak mengakui keberhasilan pemerintahan yang sedang berjalan. "Jika mereka maju menjadi capres, berarti tidak mengakui keberhasilan presidennya," ujarnya.
Tindakan para menteri itu, kata Roy, menunjukkan adanya pertentangan para menteri dengan presiden. Sebagai pembantu presiden, mereka sudah tidak klop lagi. "Itu berarti dia tidak cocok dengan presiden yang mengangkatnya sebagai menteri," tandasnya.
Lantas, bagaimana reaksi menteri yang maju jadi capres? Menko Kesra Jusuf Kalla menolak keras desakan mundur yang disampaikan PDIP itu. Penolakan itu disampaikan orang dekat Kalla, Fachry Andi Leluasa.
Dia beranggapan, sikap PDIP itu sudah tidak fair lagi. Diingatkan pula bahwa persoalan pemilihan presiden bukan dominasi kelompok atau partai politik tertentu.
"Jika memang calon itu didukung rakyat, mengapa harus mundur. Tidak bisa parpol tertentu melarang calon lain," ungkap anggota dewan asal Sulsel itu.
Andi menambahkan, jika memang seorang menteri harus mundur ketika jadi capres, seharusnya presiden pun melakukan hal yang sama. Yaitu, mundur dulu dari jabatanya selama mencalonkan diri sebagai presiden.
Apalagi, kata dia, untuk jabatan gubernur dan bupati, selama ini hal semacam itu sudah berlaku. Yakni, jika gubernur atau bupati bersangkutan akan maju lagi pada pemilihan berikutnya, enam bulan sebelum masa kerjanya habis harus sudah demisioner.
Andi menuturkan, jika sikap PDIP tersebut direalisasikan, jangan-jangan nanti malah akan menjadi bumerang. Yakni, ada tuntutan agar Mega juga turun dari kepresidenan jika akan mencalonkan lagi pada pemilihan secara langsung 2004.
Pada bagian lain, sikap PDIP tersebut juga ditolak oleh anggota partai politik yang lain. Misalnya, Ketua DPP Partai Golkar Fahmi Idris. Menurut dia, tidak ada ketentuan yang mengatur bahwa seorang menteri harus mundur dari jabatannya. "Kalau presidennya saja tidak melarang, saya kira, ya tidak perlu mundur," ujarnya.
Fahmi mengakui, memang seorang menteri merupakan bawahan presiden. Tetapi, jika seorang menteri berkompetisi dengan presiden dalam bursa pemilihan presiden mendatang, konteksnya bukan antara seorang atasan dan bawahan. Tetapi, itu persaingan antarkandidat. Dengan demikian, hubungan keduanya tidak terikat pada tata krama seperti yang disebutkan PDIP tersebut.
Sikap senada juga disampaikan Ketua DPP PAN Muhammad Askin. Dikatakan, dalam kultur demokratis seperti sekarang, sangatlah wajar jika terjadi rivalitas. "Persaingan seperti itu bukan hal yang tabu. Jadi, tidak perlu seorang menteri mundur jika akan mencalonkan diri sebagai presiden," tegasnya.
Askin juga berkeyakinan, kendati maju sebagai capres, hal itu tidak akan mengganggu tugas yang bersangkutan sebagai menteri. Yang paling penting, kata dia, bagaimana mengatur waktu masing-masing.
© Copyright 2024, All Rights Reserved