Pemerintah tidak mau terlibat dalam polemik, terkait keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali (PK) diajukan lebih dari satu kali. Bagi pemerintah, putusan MK tersebut sudah bersifat final, maka harus dipatuhi.
“Saya tidak ingin berdebat soal hukum. Silakan ahli hukum yang ngomentari itu. Saya hanya mengomentari bahwa putusan MK itu ya final, itu aturan hukumnya kan begitu," terang Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto kepada pers, di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (07/02).
Djoko mengatakan, tidak ingin ada perdebatan dalam putusan MK tersebut. Saat ini semua pihak harus mematuhi putusan tersebut. “Bahwa putusan MK itu final, semua aturan MK harus dipatuhi. Aturan undang-undang seperti itu. Soal itu kemudian bisa dianalisa, bisa diperdebatkan, silakan saja sebagai pengayaan pengetahuan kita. Silakan saja. Tetapi putusannya kan tidak bisa diubah," ujar dia.
Sementara itu, Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indraya berpendapat, dengan diperbolehkannya PK diajukan lebih dari sekali, mekanisme pengajuan PK harus diperketat. Pengetatan mekanisme tersebut dapat dilakukan dengan memperjelas novum atau bukti baru yang merupakan syarat pengajuan PK.
“Tentu saja kemudian mekanisme atau PK-nya itu bisa diulang lagi, diperketatlah, tidak kemudian karena ada kemungkinan PK bisa berkali-kali, menjadi sangat longgar," ujar Denny.
Menurut Denny, pengetatan pengajuan PK diperlukan agar tidak ada celah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan ketidakpastian hukum. “Novumnya harus jelas. Novum itu alat bukti baru. Kalau pada pemeriksaan pertama buktinya belum jelas, ya sudah," sambung Denny.
Senada dengan Menko Polhukam, Denny menilai keputusan MK terkait PK itu harus dihormati karena sifatnya final dan mengikat.
Jika ada pro-kontra, ujar dia, cukup dijadikan kajian akademik. Menurut Denny, bagaimanapun juga putusan MK merupakan bagian dari aturan dasar yang diturunkan dari Undang-Undang Dasar 1945. “MK punya kewenangan untuk itu, jadi putusan itu harus menjadi acuan dan tidak bisa keluar dari sana," tandas Denny.
Seperti diketahui, MK membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali.
Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari). Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Antasari bersyukur atas putusan itu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved