Ketika belum lagi kering air mata negeri ini karena bencana alam yang datang silih berganti. Sebuah tragedi menyedihkan kembali mencoreng wajah anak-anak negeri. Seorang aktivis LSM Farid Faqih dihajar babak belur oleh aparat keamanan. Farid dituduh menggelapkan, mencuri barang-barang bantuan yang tercecer di Bandara Sultan Iskandar Muda, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Sebuah peristiwa yang jauh dari akal sehat dan menerabas nilai-nilai kemanusiaan. Tindakan main hakim sendiri. Di tengah upaya pemerintahan baru menjejakan hukum dan demokrasi sebagai landasan pencapaian kehidupan kebangsaan yang lebih beradab. Tindak kekerasan itu memang seketika menjungkirbalikan harapan dan cita-cita akan sebuah negeri yang bebas dari ketakutan dan kekerasan.
Farid memang hanya seorang aktivis LSM. Tak ada yang istimewa pada dirinya. Selain sikapnya yang kritis dan kerap membuat kuping orang yang dikritik menjadi merah. Menjadi aktivis LSM, tukang kritik pemerintah memang penuh resiko.
Kekerasan yang menimpa Farid memang patut disesali. Ketua Ombudsman Nasional Antonius Sujata memberikan reaksi yang cukup keras. Terlepas dari benar-tidaknya tuduhan Farid, bentuk penganiayaan terhadap orang yang disangka atau diduga melakukan tindakan melawan hukum sangat tidak dibenarkan. Apalagi hal itu dilakukan oleh aparat keamanan yang bertugas memberikan rasa aman bagi masyarakat dan aparat penegak hukum yang harus menjunjung tinggi hukum.
Di mata Sujata, Farid Faqih adalah orang yang selama ini gigih memperjuangkan penegakan hukum terhadap praktik-praktik penyimpangan dalam birokrasi di Indonesia. Kedatangannya di Aceh juga dalam rangka menjalankan misi sosial memberikan bantuan dan memantau pendistribusian bantuan. Karena itu kasus ini segera dituntaskan.
Kecaman keras lain pun dilayangkan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Munarman. Pihaknya mengecam keras serta meminta agar panglima TNI mengambil tindakan tegas terhadap anak buahnya melakukan tindak penganiayaan atas tuduhan pencurian tersebut, bahkan bila perlu memberikan sanksi.
Kalaupun ada indikasi pencurian, seharusnya pihak yang lebih berhak menangani itu adalah kepolisian dan tidak boleh mengandung unsur-unsur kekerasan. Semestinya aparat keamanan tidak boleh berlaku sewenang-wenang. Sedangkan tuduhan mencuri bantuan logistik merupakan cermin buruknya prosedur penanganan bencana yang dilakukan oleh pemerintah.
Wajah lembab Farid Faqih mengingatkan kita pada praktik-praktik kekerasan negara terhadap aktivis mahasiswa dan para pejuang HAM di masa Orde Baru. Ketika itu, memang rezim otoritarian yang dikendalikan Soeharto tak memberikan ruang pembelaan bagi siapa saja yang dianggap berseberangan dengan kepentingan rezim. Kisah penculikan, penghilangan orang, kekerasan dan penganiayaan menjadi semacam ‘kebudayaan’ rezim Soeharto.
Ketika rezim berganti, berganti dan terus berganti, semua orang berharap mendapatkan ruang kebebasan dan jaminan hukum yang adil. Harapan itulah yang mengantar Abdurrahman Wahid, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono ketika tampil memimpin negeri ini.
Sebuah harapan yang wajar dan sederhana. Tapi rasanya harapan sederhana itu begitu mahal dan sulit dijangkau. Ternyata perubahan rezim, pergantian elit politik tak bisa jadi jaminan hadirnya sebuah perilaku berbudaya dalam alam demokratis.
Kekerasan dan kekejaman telah terlanjur menjadi kebudayaan elit dan aparatur di negeri ini. Kebudayaan yang diwariskan secara sistematis dan sulit dihilangkan. Tampaknya masih akan banyak lagi peristiwa tragis yang membuat air mata kita terus mengalir.
© Copyright 2024, All Rights Reserved