Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDI-P) dan Fraksi Partai Golkar (FPG) menyoroti masih lemahnya pemberantasan korupsi selama 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla. Dua fraksi besar di DPR ini menilai, pemburuan koruptor besar yang ditunggu masyarakat belum dilakukan.
Seperti dilansir Suara Pembaruan, Ketua FPG DPR, Muhammad Andi Mattalatta mengatakan, perburuan koruptor selama 100 hari ini masih yang kecil-kecil, termasuk para anggota DPRD kabupaten/kota dan provinsi. Padahal, kata Andi Mattalatta, koruptor-koruptor besar yang nilai kerugian negaranya lebih besar seperti kasus BLBI belum disentuh.
Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar ini melihat, masih terjadi kejomplangan dalam pemberantasan korupsi. Akibatnya, sebagian masyarakat menganggap penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi tidak serius, mungkin serius di elite atas tetapi di tahap implementasi sangat kurang.
Andi Mattalatta mengingatkan, harapan masyarakat terhadap Pemerintahan Yudhoyono-Kalla sebenarnya tidak muluk-muluk, yakni bagaimana supremasi hukum dan keadilan ditegakkan. Sebab, sesungguhnya apabila penegakan hukum jalan dan keadilan terjadi, bidang ekonomi dan lainnya bisa diatasi.
Sekretaris FPDI-P DPR, Jacobus Kamarlo Mayongpadang, di tempat terpisah, Selasa pagi, menegaskan, pemerintahan Yudhoyono-Kalla masih mengecewakan masyarakat, terutama dalam bidang pemberantasan korupsi. Menurut Jacobus, yang terjadi hanya peningkatan volume kerja, tetapi tidak ada pembaruan karena apa yang dilakukan sekarang sudah dimulai pemerintahan sebelumnya.
Di era pemerintahan Megawati misalnya, kata Jacobus, sebagian anggota DPR sudah diadili dan di antaranya adalah kader PDI-P, dan itulah sebenarnya gebrakan atau pembaruan bahwa orang sefraksi atau separtainya bisa diadili. Jadi sesungguhnya pemerintahan sekarang hanya melanjutkan apa yang sudah dimulai sebelumnya.
Tentang kasus Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh yang menarik perhatian masyarakat, menurut Jacobus, itu pun sudah dimulai prosesnya sebelumnya. Lagi pula yang melakukan penahanan adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberi kewenangan ketika instusi penegahan hukum seperti kejaksaan dan kepolisian kurang berfungsi.
Seperti Mattalatta, Jacobus mempertanyakan ketidakberanian Pemerintahan Yudhoyono-Kalla mengadili mantan Presiden Soeharto, kasus 27 Juli, Semanggi I dan Semanggi II. Kenapa itu ditunggu masyarakat kata Jacobus, karena Yudhoyono sendiri yang berjanji akan membawa perubahan, sedangkan ketika era Megawati sulit dilakukan karena justru akan terkesan Megawati balas dendam.
Diakui, waktu 100 hari itu sangat singkat, tetapi Yudhoyono dan Kalla sendiri yang justru mematok waktu 100 hari untuk melakukan terapi kejutan. Ternyata kejutan yang ditunggu malah tidak terjadi.
Kalau kemudian Presiden Yudhoyono membantah memberikan janji melakukan perubahan segalanya dalam 100 hari, Jacobus mengatakan, Presiden sebagai seorang jenderal seharusnya secara kesatria mengakui bahwa langkah introdusir dengan janji terapi kejutan dengan program 100 hari masing-masing departemen dan lembaga tidak berhasil.
Malahan, masyarakat dibuat terkaget-kaget dengan inkonsistensi di kalangan pejabat di istana kepresiden. Misalnya Mensesneg Yusril Ihza Mahendra pernah mengatakan, Presiden melarang menenteri datang ke DPR, tetapi setelah rapat konsultasi dengan pimpinan DPR dan pimpinan Fraksi, Presiden membantah dan mengatakan, tidak pernah mengeluarkan perintah semacam itu.
Soal SK Wapres, pejabat istana ada yang mengatakan, akan ditinjau ada yang bilang tidak apa-apa, ada yang menyebutkan akan diperbaiki, lalu yang lain mengatakan ada kekeliruan. Hal lainnya adalah soal surat Seswapres yang kemudian Seswapres-nya mengundurkan diri setelah diributkan. "Apa sesungguhnya yang terjadi di istana," Jacobus menegaskan.
Ketua FPG, Andi Mattalatta, mengakui, Pemerintahan Yudhoyono-Kalla memang menghadapi tingkat kesulitan yang cukup tinggi. Pertama, ekspektasi masyarakat cukup tinggi, sementara pasangan ini tiba-tiba dihadang dengan berbagai bencana.
Kedua, proses peralihan ini tidak sama seperti dulu, kalau dulu ada GBHN yang dikawal hampir sebagian besar lembaga negara dalam proses peralihan sehingga terjadi kesinambungan. Sekarang tidak ada GBHN, jadi ada hal-hal baru, termasuk perangkat yang diangkat adalah orang-orang baru sehingga memerlukan penyesuaian. Dengan tingkat kesulitan yang besar, kata Andi Mattalatta, energi yang dicurahkan seharusnya dua kali lipat, bukan rutin, belum lagi konstelasi politik di DPR yang memulai kerjanya dengan perseteruan yang dua kubu besar.
Soal reshuffle kabinet, FPG DPR, kata Andi Mattalatta, tidak merekomendasikannya. Alasannya, waktu 100 hari yang telah lewat ini memang seharusnya dimanfaatkan untuk identifikasi masalah untuk dijadikan evaluasi dalam melanjutkan ke tahap berikutnya yang lebih efektif.
Sebelumnya, Ketua Forum Persatuan Nasional (FPN) Agus Miftah mengatakan, belum ada perubahan dalam 100 hari Pemerintahan Yudhoyono-Kalla.Hal itu membuat berbagai kalangan memandang perlu penyegaran pemerintahan.
"Kesalahan tim kepresidenan itu karena membuat program seratus hari yang tidak ada landasan konstitusional. Mereka jadi kelabakan sendiri menyelesaikan banyak masalah bangsa ini," kata Agus Miftah sebagai penyelenggara dalam diskusi mingguan 30 partai politik bukan peserta pemilu di Jakarta, akhir pekan lalu yang dihadiri Ketua Partai Nasionalis Demokrat (PND) Edwin Henawan Sukowati.
Agus menyebut perlu ada pergantian menteri. bidang hukum. Menteri yang perlu diganti, kata Agus, yakni Menko Polhukam Widodo AS, Menteri Kehakiman Hamid Awaludin dan Menlu Hassan Wirajuda.
Kesalahan para menteri itu, kata Miftah, adalah membawa perundingan GAM ke Finlandia yang merendahkan martabat bangsa. Seharusnya, kata Agus, perundingan itu di Jakarta saja karena adalah masalah internal Indonesia.
Sementara Edwin Sukowati mengatakan, jika kegagalan Pemerintahan Yudhoyono-Kalla ini terus berlanjut dan para menterinya tetap lemah, kata Edwin, bisa berakibat fatal bagi kepemimpinan SBY. "Bila tak ada tolok ukur program pemerintah yang berhasil akan mengakibatkan rakyat dan elite politik lain akan kecewa. Jangan salahkan mereka akan ambil jalan pintas seperti pergantian presiden sebelum waktunya," tegas Edwin.
© Copyright 2024, All Rights Reserved