Kebebasan berpendapat itu dijamin oleh deklarasi HAM PBB dan juga Pasal 28 amandemen kedua UUD 1945. Setuju dan benar. Soalnya kemudian, kebebasan seperti apa yang dimaksudkan oleh dua legalitas formal itu? Bagaimana cara menggunakan kebebasan yang ada? Apakah dengan adanya kebebasan, seseorang bisa dibenarkan untuk menginjak-injak HAM orang lain. Atau kebebasan yang dimaksud, hanya berlaku untuk orang-orang tertentu?
Misalnya, Udin boleh bebas, tetapi Badu tidak memiliki kebebasan seperti Udin. Ketika kebebasan versi Udin mendapat pembenaran secara sepihak, maka yang akan terjadi adalah malapetaka bagi kebebasan itu sendiri. Karena untuk menafsirkan kebebasan, hanya Udin yang berhak, yang lain tidak.
Sepantasnya, ada kerangka yang lebih besar untuk dilihat. Soal kepastian penafsiran dan ketentraman sosial di masyarakat. Misalnya seperti bentrokan yang hampir terjadi antara komunitas Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT) IKBT dengan Tomy Winata akibat pemberitaan majalah Tempo yang bertajuk “Ada Tomy di Tenabang?” dibaca sebagian besar anggota IKBT.
Bisa dibayangkan, hanya karena yang namanya kebebasan, warga IKBT yang sedang marah-marahnya dan telah berkesimpulan bahwa Tomy Winata menjadi dalang kebakaran, lantas melakukan penyerangan ke kantor Tomy Winata di Gedung Artha Graha. Jelas persoalan keamanan dan sosial kemasyarakatan akan meluas dan merembet kemana-mana. Lantas siapa yang harus dimintai tanggungjawab atas jatuhnya korban-korban? Kebebasan seperti inikah yang diinginkan?
Bila kebebasan yang demikian memang menjadi kehendak, maka ada dua kutub yang saling bertentangan dalam kehidupan berbangsa. Satu sisi, ada manusia yang memiliki kekebalan untuk menista siapa saja, disisi lain ada manusia yang nasibnya memang untuk dinista. Bila demikian, dalam skala proses penataan norma kehidupan, tragedi puncaknya nanti, masyarakat akan bersahabat dan akrab dengan tindakan kejahatan, karena merasa memiliki frame kebebasan secara sendiri-sendiri.
Guna terhindar dari hal yang demikian, tak ada pilihan lain, seperti yang diungkapkan Charles J.Roro, wartawan Atlantic Monthly, ketika mengomentari The Rebel, karya Albert Camus.......disini tidak ditemukan jejak-jejak sentimentalis, retorika ataupun jargon-jargon yang hanya dipahami selegintir orang......di sini kita dapat mendengar suara manusia yang teguh memegang nilai-nilai kesusilaan. Jadi, terapkan hukum dengan rasa keadilan, berdasarkan fakta-fakta dan kesaksian. Bukan atas nama persekongkolan, tekanan opini atau rasa kebencian.
Itu kalau terjadi di dunia manusia. Sebab logika, fakta, etika, tata krama, hukum, keadilan, dan kesusilaan masih bisa diterapkan. Di jagad Tuyul dan Bunglon, yang ada hanya satu: Monopoli Tafsir Kebenaran . Maka, Hitam kata Tuyul, jadi Hitamlah semua. Putih kata Tuyul, semua jadi Putih. Tak satupun pihak lain, diluar komunitas keduanya, yang bisa memegang tafsir kebenaran.
Guna memegang posisi itu, Tuyul dan Bunglon cukup banyak mengeluarkan energi. Yang pasti, dana perkumpulan digerus secara terus menerus oleh para petinggi. Akibatnya, neraca minusnya dari tahun ketahun bertambah terus. Belakangan, hasil menggadaikan perkumpulan-pun turut dipakai. Bukannya untuk mensejahtrakan anggota perkumpulan.
Akan tercapaikah itu semua? Tergantung ukurannya. Bila memang alam jagad ini sudah tidak memiliki hukum dan rasa keadilan, maka itu bisa tercapai. Sebaliknya, bila alam jagad ini masih menjadikan hukum sebagai panduan untuk mengatur kehidupan berbangsa, tujuan Tuyul dan Bunglon sulit menjadi keenyataan. Kuncinya hanya satu. Beranikah kita mengatakan yang benar itu benar, walaupun itu harus terasa getir dan pahit.
© Copyright 2024, All Rights Reserved