Tak ada politisi yang mendapat perhatian publik sebesar Akbar Tanjung saat ini. Betapai tidak, sebagai tesangka dalam kasus dugaan penyelewengan dana non bujeter Bulog sebesar Rp 40 Miliar, dia masih eksis sebagai pimpinan DPR dan ketua umum Partai Golkar. Realitas ini, seakan membenarkan bahwa dukungan politik Akbar demikian besar dan membuatnya sulit untuk dimundurkan atau sekedar non aktif.
Kasus yang menimpa Akbar memang sulit untuk dihindari dari kontaminasi politik dan rivalitas di antara elit politik di Indonesia menghadapi pemilihan umum 2004. Ada keyakinan, Akbar memang sengaja ‘dikerjain’ untuk melorotkan reputasi politiknya.
Terlepas dari soal itu, bagaimana kita memandang kasus Akbar secara jernih terutama dalam kaitannya sebagai ketua DPR. Pertanyaan yang perlu dijawab, apakah Akbar Tandjung masih pantas menjadi Ketua DPR sementara dirinya berstatus sebagai tersangka dan menjadi tahanan. Pertanyaan berikutnya, yang juga tak kalah penting, wajarkah Akbar diminta mundur padahal dia belum tentu bersalah?
.
Perdebatan publik mengenai hal ini memang telah terbentang luas di berbagai forum. Argumen dengan landasan moral mengharuskan Akbar meletakkan jabatan, paling tidak untuk sementara. Ini dikaitkan dengan statusnya sebagai tersangka dan sedang ditahan. Bagaimanapun, DPR sebagai lembaga terhormat harus dipimpin orang yang bersih, orang yang tak ternoda meskipun untuk sementara baru sebagai tersangka.
Bagaimana dengan Tatib DPR? Tampaknya dalam hal ini, Akbar sulit untuk mengelak dari tanggungjawabnya sebagai pimpinan DPR. Pasal 21 Tatib DPR mengharuskan ketua dan wakil ketua bertugas penuh di DPR. Dengan begitu, kehadiran Akbar dan kinerja Akbar di DPR pasti menjadi soal karena kini berstatus sebagai tahanan.
Posis Akbar memang dilematis. Argumen menghendaki Akbar mundur bukan tak terbantahkan. Apalagi jika dilihat dalam konteks asas praduga tak bersalah. Setiap warga negara berhak atas praduga tidak bersalah sebelum selesai dibuktikan di pengadilan. Beberapa fraksi di DPR menggunakan argumen ini untuk mempertahankan Akbar, selama tak ada keputusan hukum yang tetap. Jadi perlu adanya legalitas. Semua perlu menghormati hukum dengan mengikuti semua prosedur yang berlaku.
Menghadapi pro kontra seperti ini, masih adakah jalan keluar? Bagaimana jika Akbar non aktif saja, sampai ada status hukum yang tetap bagi dirinya. Pilihan ini bisa menjadi jalan keluar, karena Akbar bisa segera aktif di DPR setelah proses hukum selesai. Tanggungjawab moral sebagai pemimpin politik mengharuskan Akbar untuk memberikan teladan. Tampaknya, pilihan untuk non aktif dari DPR juga akan menyelamatkan DPR dan karir politik Akbar Tanjung.
Di masa depan, DPR perlu membentuk Dewan Kehormatan. Kasus-kasus semacam ini dapat diputuskan oleh dewan kehormatan tersebut. Sehingga, kita tidak lagi terjebak dalam pro kontra politik yang menguras energi dan menambah panjang jalan ketidakpastian.
© Copyright 2024, All Rights Reserved