Tokoh Pendidikan Nasional Dr Jan Riberu menegaskan jika mau membangun Indonesia, yang pertama-tama dan lebih dahulu harus dibangun adalah manusianya.
Pendapatnya itu dikemukakannya saat peluncuran buku yang memuat pergulatan pemikirannya bertajuk “Pergulatan Pemikiran Dr Jan Riberu: Pendidikan, Relasi Agama-Negara, dan Pancasila” di PPM Manajamen, Jakarta, akhir pekan lalu. Buku ini merupakan himpunan tulisannya sejak 1967 hingga 2007.
Jan Riberu mengemukakan, lewat pendidikan Indonesia telah menghasilkan manusia-manusia bermutu, seperti para pemimpin bangsa. Hal itu membuat Indonesia bisa maju dengan cepat. Kemajuan itu karena didukung oleh pendidikan yang bagus.
“Kita sudah maju dengan berbagai rencana pembangunan. Kita telah menjadi bangsa yang dikagumi bangsa lain,” kata tokoh pendidikan nasional asal NTT tersebut.
Jan Riberu yang dijuluki pedagog unggul di tanah air oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Prof. Dr. Fuad Hassan (1985-1993) lahir di Nunukae, Nagekeo, Flores, pada 27 Juni 1931. Semula ia ingin menjadi guru seperti ayahnya, namun ia kemudian melanjutkan pendidikan filsafat dan teologia sampai meraih gelar doktor di Universitas Salsesiana, Roma, Italia, tahun 1965. Ia menjadi anggota DPR/MPR pada 1987-1997 dari Golkar menggeluti bidang pendidikan.
Peluncuran buku yang diterbitkan oleh Yayasan Flores Abdi Bangsa dengan dukungan dari PPM Manajemen, PT Armindo Catur Pratama, Yayasan Soedarpo dan Yayasan Bentara Rakyat dilanjutkan dengan seminar dengan menghadirkan pembicara Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) Dr Yudi Latif dan Direktur Eksekutif PPM Manajemen Bramantyo Djohanputro PhD.
Wartawan Senior Walfred Andre yang menjadi salah satu editor buku ini menjelaskan, PPM Manajemen dan Yayasan Flores Abdi Bangsa memiliki dua pertimbangan untuk menggelar seminar Pancasila dan pendidikan, setelah kegiatan peluncuran buku.
Pertama, kondisi aktual yang dihadapi bangsa Indonesia dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, sejak dimulainya era reformasi, yakni Pancasila seperti “disingkirkan” dari ruang publik, termasuk media massa, DPR, serta berbagai lembaga pemerintahan di pusat dan di daerah. Hal ini terjadi akibat salah kaprah, seolah-olah Pancasila dimasyarakatkan melalui penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasia (P4) seperti yang dilakukan pada era Orde Baru.
“Padahal, sebagai dasar negara dan pandangan hidup (way of life) bangsa, Pancasila merupakan milik seluruh bangsa Indonesia, tidak peduli siapa yang berkuasa di negeri ini. Sebab, kalau Pancasila sebagai dasar negara digoyang atau berusaha disingkirkan, maka eksistensi bangsa yang besar dan majemuk juga akan terancam,” ujar Walfred Andre.
Pertimbangan kedua, buku Pergulatan Pemikiran Dr Jan Riberu: Pendidikan, Relasi Agama-Negara, dan Pancasila, antara lain menyajikan pemikiran yang disampaikan Jan Riberu sejak 40 tahun lalu tentang ancaman terhadap eksistensi Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang majemuk.
Dalam salah satu tulisannya yang dimuat surat kabar pada 1978 misalnya, Jan Riberu sudah memperingatkan bahwa penghayatan dan pengamalan Pancasila merupakan suatu masalah serius. Karena itu, satu tahun setelah itu, pada 1979, ia menyarankan agar nilai-nilai Pancasila dimasyarakatkan lewat gaya kepemimpinan.
Kemudian pada 1990, ia kembali mengingatkan, bahwa pemahaman Pancasila melalui penataran P4 belum menjamin pengamalan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
"Orang bisa hafal di luar kepala butir-butir nilai dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi sulit bertegur sapa dengan tetangganya hanya karena berbeda agama. Atau, orang lancar menyebutkan nilai-nilai dari sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, tetapi hatinya sama sekali tidak tergugah ketika menyaksikan ada orang yang sedang dilanda kesulitan hidup," tandas Riberu.
© Copyright 2024, All Rights Reserved