Mahkamah Agung diminta tidak mengabulkan judicial review UU No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Bila itu dikabulkan, iklim media massa akan kembali ke era Orde Baru.
"Kami minta agar judicial review bisa ditinjau lagi oleh MA," ujar pengamat pers dari UGM Drs Amir E. Siregar ketika memberikan keterangan pers di Jakarta Media Center kemarin.
Turut mendampingi Amir, Ketua Asosiasi Televisi Lokal Indonesia Jimmi Silalahi dan pakar hukum pers Hinca I.P. Panjaitan. Judicial review UU No 32 tersebut diajukan ke MA oleh sekelompok praktisi televisi yang berbasis di Jakarta setelah DPR mengesahkan UU Penyiaran. Pemilik televisi berbasis di Jakarta itu tidak setuju terhadap UU Penyiaran tersebut.
Sementara itu, kelompok pendukung UU Penyiaran, yang kini meminta MA untuk menolak judicial review itu, datang dari Visi Anak Bangsa, RRI, Jaringan Radio Komunitas Indonesia, dan Asosiasi TV Lokal Indonesia. Kelompok tersebut mengajukan addinforandum (informasi yang harus diinformasikan) kepada MA. Addinforandum tersebut bertujuan meninjau kembali judicial review.
"Kami berharap nanti akan diteruskan kepada majelis hakim yang memeriksa judicial review," ungkap Amir.
Addinforandum tersebut, kata Amir, juga akan disampaikan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri dan Ketua DPR Akbar Tandjung. Amir berpendapat, sistem penyiaran yang demokratis harus terus-menerus dibangun.
Menurut Amir, merevisi setelah UU tersebut diberlakukan adalah cara yang lebih baik daripada melakukan judicial review sebelum UU itu diberlakukan. Jika nanti UU No 32 Tahun 2002 itu dicabut, posisi televisi lokal akan terjepit, bahkan akan menjadi hilang.
Kelompok yang mengajukan judicial review ke MA memberikan 11 kesimpulan. Salah satunya adalah mengenai pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Menurut penentang UU Penyiaran, KPI dinilai akan bertugas seperti Depertemen Penerangan (Deppen) yang akan mengontrol pers.
Tetapi, pendapat tersebut ditentang Hinca I.P. Panjaitan, pakar hukum pers. Menurut dia, KPI tidak akan menjadi Deppen. Sebab, dalam pengaturan televisi, memang dibutuhkan sebuah wadah tunggal. "KPI mengatur ranah publik yang dipergunakan oleh penyiaran," ungkapnya.
Selain itu, anggota KPI akan terdiri atas orang-orang yang bukan dari lembaga penyiaran. Hal tersebut dimaksudkan agar KPI bisa benar-benar independen. KPI diharapkan akan menjadi wasit yang berwibawa dalam penyiaran pers di Indonesia.
Pengaturan penyiaran antara lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran komunitas juga dipermasalahkan oleh kelompok yang mengajukan judicial review. Pembagian penyiaran tersebut dianggap telah menciptakan iklim devide et impera.
Namun, baik Amir maupun Hinca menyatakan, dalam negara demokrasi seperti Indonesia, pengaturan penyiaran merupakan hal yang wajar dan bukan untuk mengadu domba. "Pengaturan tersebut diberikan karena memang fungsi dan perannya berbeda," jelasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved