Indonesia masih banyak tergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan nasional. Buituh terobosan strategis untuk mengurangi ketergantungan impor. Salah satunya dengan perluasan lahan pangan.
“Indonesia juga bisa mengalami nasib yang sama seperti Syria, jika bangsa ini tidak mengambil langkah-langkah pencegahan yang bijaksana. Untuk itulah perlu dilakukan upaya lebih agar masalah pangan, air, dan lingkungan dikelola dengan lebih baik agar masalah tersebut tidak memiliki konsekuensi politik dan keamanan yang serius,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan dan Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti (YSNB) Pontjo Sutowo kepada politikindonesia.com disela-sela Diskusi Panel Serial (DPS) ke-11 di Jakarta, Selasa (10/04).
Menurutnya, saat ini Indonesia terjadi mismatch antara ketersediaan pangan dengan pertambahan penduduk. Mismatch tersebut muncul bukan hanya karena masalah alamiah, tapi juga kesalahan pada kebijakan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri. Namun dampaknya yang dirasakan lebih besar adalah karena adanya kesalahan pada kebijakan pemerintah dan perbuatan warga masyarakat sendiri.
“Padahal seharusnya, negara Indonesia dengan sistem pemerintahan presidensial, dapat merencanakan keseluruhan masalah dengan lebih terpadu, efektif dan efisien. Sehingga bangsa ini mampu mengembangkan pola manajemen strategis yang mumpuni dan dapat menangani masalah-masalah tersebut tidak secara terfragmentasi,” ungkapnya.
Sementara itu, mantan Menteri Perumahan Rakyat, Siswono Yudo Husodo mengakui, saat ini pangan Indonesia sangat tergantung pada impor. Kenyataan ini menyebabkan Indonesia tidak memiliki kemandirian pangan. Prosentase impor Indonesia terhadap kebutuhan pangan menduduki kondisi yang kritis.
“Seperti impor bawang putih prosentasenya mencapai 90 persen, kedelai 63 persen, susu 84 persen, gandum 100 persen, daging sapi 20 persen. Tak hanya itu, beras mencapai 5 persen, gula 37 persen dan bahkan garam 55 persen,” tuturnya.
Dia menjelaskan, hal itu terbukti pada Desember 2017, angka impor barang konsumsi mencapai USD1,37 miliar atau setara dengan Rp18,49 triliun. Nomimal itu merupakan tertinggi sepanjang sejarah untuk hitungan per bulan. Bahkan, diperkirakan pada tahun 2020, Indonesia harus mengimpor pangan senilai Rp1.500 triliun.
“Untuk mengatasi hal tersebut, Indonesia harus segera memperluas lahan pangan yang ada, selain itu juga berhati-hati terhadap konspirasi asing yang ingin menguasai pertanian dan pangan Indonesia. Oleh sebab itu, kita harus mau belajar dari kesalahan di masa lalu yang saat ini sudah membuat Indonesia masuk ke dalam the food trap. Sehingga kita harus mendorong diversifikasi pangan ke arah yang salah, yaitu dengan menempatkan gandum sebagai basis pangan alternatif,” imbuhnya.
Suswono memaparkan, padahal sejak jaman dahulu, lebih dari 1.500 tahun yang lalu, wilayah Indonesia dikelola oleh beberapa kerajaan dan dikenal sebagai wilayah penghasil produk-produk pertanian yang unggul. Bahkan, di masa lalu wilayah Indonesia pernah memegang peranan penting dalam perdagangan produk pertanian dunia.
“Namun, sejak pemerintah membuka diri pada bantuan Amerika melalui PL-408 di awal tahun 70-an, secara bertahap bangsa ini menjadi bangsa pemakan gandum yang tidak bisa diproduksi sendiri. Apalagi, Indonesia yang merupakan negara dengan populasi no.4 di dunia, perlu mengelola pangannya secara lebih baik. Karena mengelola pertanian dan pangan di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah,” ulasnya.
Pada kesempatan yang sama, Utusan Khusus Presiden Untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar menambahkan, sebenarnya Indonesia perlu berhati-hati terhadap perubahan iklim di dunia. Hal ini karena pengaruh perubahan iklim mampu menjadi ancaman terhadap keutuhan wilayah nasional, keamanan nasional, dan integrasi nasional. Karena perubahan iklim bisa menyebabkan kenaikan suhu bumi.
“Perubahan iklim merupakan masalah global dan ancaman terbesar bagi manusia saat ini. Komunitas ilmiah global menyatakan dengan jelas bahwa perubahan iklim makin nyata dan disebabkan oleh aktivitas manusia mengemisikan gas rumah kaca (GRK) ke atmosfer dan mengakibatkan akumulasi yang makin cepat. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi atmosferik GRK yang secara bersamaan akan meningkatkan temperatur rata- rata di atmosfer dan mengganggu kesetimbangan awal berbagai parameter iklim,” katanya.
Dia memaparkan, ada pun beberapa aktivitas manusia yang mengemisikan banyak GRK. Di antaranya, penggunaan energi yang bersumbet dari batu bara untuk kegiatan sehari-hari, penebangan hutan untuk kepentingan infrastruktur, permukiman masyarakat dan produksi makanan dengan tidak efisien menggunakan sumber daya alam. Sehingga bisa menyebabkan perubahan iklim.
“Oleh sebab itu, masyarakat dunia harus melakukan langkah-langkah disruptif dan ambisius untuk aksi perubahan iklim agar terhindar dari bahaya katastropik yang semakin parah dan sering kejadiannya. Salah satunya, perubahan iklim berdampak pada pertanian dengan terganggunya pola musim. Musim hujan lebih pendek dengan hujan berintensitas tinggi, sedangkan musim kemarau lebih panjang dengan hujan yang semakin jarang. Hal tersebut dapat mengurangi produksi pangan secara global,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, populasi di negara-negara berkembang seperti Indonesia jarang mampu menaikkan harga pangan setelah gagal panen. Tantangan ini membuat Indonesia semakin rentan terhadap dampak perubahan iklim. Lebih lanjut, Indonesia pun rentan terhadap kenaikan harga pangan karena ketergantungan pada impor beberapa bahan makanan.
“Dengan demikian, ketahanan pangan yang disebabkan oleh perubahan iklim dan dampak pembangunan yang tidak berkelanjutan membuat Indonesia lebih rentan terhadap risiko konflik, dan dapat menciptakan ancaman bagi ketahanan nasional. Makanya, pola pertanian dan perikanan perlu dikaji ulang untuk disesuaikan dengan perubahan iklim,” pungkasnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved