Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak untuk mengambil alih kasus gratifikasi yang melibatkan dua direktur lalulintas, yakni Dirlantas Polda Metro Jaya Kombes Pol Nurhadi Yuwono dan Dirlantas Polda Jawa Timur Kombes Pol Rahmat Hidayat.
Desakan itu dilontarkan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman menanggapi kasus suap yang terjadi di Samsat Manyar Ditlantas, Jawa Timur.
"Saya tantang KPK, berani ngga, ambil alih kedua kasus gratifikasi yang melibatkan dua dirlantas itu?” kata Boyamin kepada pers di Jakarta, Jumat (09/05).
Boyamin mengatakan, kasusnya ini jelas ada pelaku anak buah dirlantas yang tertangkap tangan dengan barang bukti uang tunai miliaran rupiah untuk kasus di Samsat Manyar Ditlantas Jatim. Kemudia barang bukti Rp 350 juta yang di Ditlantas Polda Metro. “PPATK juga harus pro aktif dong," tukas Boyamin.
Sesuai tugas dan kewenangan KPK yang tercantum pada UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 maupun UU No.20 Tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi, lanjutnya, KPK berhak mengambil alih pengusutan suatu perkara dari penegak hukum lain kalau memang penanganannya ditemukan kendala.
"Sudah jelas kalau dua dirlantas itu hanya terkena sanksi administrasi dalam bentuk mutasi jabatan, tanpa dilakukan proses hukum pidana korupsi,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, hal itu berarti jelas menunjukkan ada hambatan dalam penangan kasusnya di penyidik Tipikor Mabes Polri. “Kesannya Kapolri hanya seolah-olah mau pembenahan internal saja. Faktanya nol," ujar Boyamin.
Boyamin, selama ini KPK berani mengusut kasus-kasus besar seperti SKK Migas, Hambalang, Century, atau Simulator SIM. Padahal seperti kasus pungli miliaran rupiah per hari untuk di Ditlantas Polda Metro Jaya dan sudah berlangsung bertahun-tahun tak pernah disentuh KPK.
Boyamin mengungkapkan, dari setiap pembelian kendaraan baru baik roda empat dan roda dua, polisi menarik pungli 20% hingga 30% dari harga kendaraan tersebut. Bahkan pungli lebih besar dikenakan pada mobil mewah, motor gede, dan kendaraan berat.
Sebagai contoh, untuk jenis motor bebek saja yang dibeli konsumen seharga Rp15 juta, padahal harga aslinya maksimal Rp10 juta sudah termasuk pajak. Namun, ada tambahan biaya pembuatan surat-surat seperti STNK dan BPKB maksimal Rp1 juta, jasa pengurusan biro jasa Rp500.000, sisanya yang Rp4 juta masuk ke kas pribadi dirlantas yang disusupkan atau dikamuflase menjadi ongkos biro jasa. Padahal biro-biro jasa itu pun milik para dirlantas dan pejabat yang bersangkutan.
"Itu semua sudah jadi rahasia umum. Setiap hari untuk di polda metro saja ada 4.000-an kendaraan motor dan mobil baru yang harus dibuatkan STNK dan BPKB-nya. Berapa miliar pendapatan mereka setiap hari selama bertahun-tahun ini ? KPK sudah tahu itu, tapi kenapa KPK tidak pernah mengusutnya ? Padahal mudah sekali membongkarnya," kata Boyamin.
© Copyright 2024, All Rights Reserved