Tiga hal yang kerap membuat Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan masyarakat saling berseteru saat pelaksanaan penertiban di lapangan. Termasuk dalam kasus penertiban kompleks makam Mbah Priok, Rabu (4/04). Yaitu, masalah doktrin, kebijakan dan uniform.Untuk itu, penampilan Satpol PP dinilai harus lebih sipil.
Anggota Tim Investigasi Komnas HAM, Ridha Saleh mengungkapkan hal tersebut, kepada pers, di Gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, kemarin.
Ridha mengungkapkan, selama ini sejumlah kebijakan Satpol PP, kerap bertentangan dengan prinsip HAM. Bekas aktifis LSM ini menilai, proses eksekusi yang dijalankan "polisi sipil" itu, selalu saja bertentangan dengan HAM. "Kebijakan yang Satpol PP jalankan, bertentangan dengan HAM."
Karena itulah, Komnas HAM sampai pada kesimpulan, Satpol PP tetap dibutuhkan, tetapi harus mengalami perombakan total. Yang mendesak dievaluasi, kata Ridha, tugas pokok dan fungsi Satpol PP. Peran Satpol PP harus bermartabat dan menempatkan manusia sebagai manusia.
"Jangan melihat manusia itu orang kecil. Pikiran seperti itu ada di kepala Satpol PP, dan menindas," ujar Ridha.
Dengan semangat itu, Satpol PP harus mengalami perubahan mendasar, dan menyeluruh. Di antaranya, yang penting, dan mendesak, tampilannya harus yang agak sipil, tidak cenderung seperti militer. Kesan itu yang menurut Ridha harus diubah, agar jangan sampai militeristik. Dengan begitu, ke depan tindakan penertiban harus melalui upaya dialog ataupun mediasi.
Kepala Dinas Satpol PP (nonaktif), Harianto Badjuri membantah tudingan insiden di Tanjung Priok melanggar HAM. Saat diperiksa di Komnas HAM, kemarin, ia meminta ada kesamaan persepsi dalam memandang masalah HAM. "Ini kalau saya katakan HAM dalam tanda petik. Artinya harus kita urai dulu, mana kasusnya dan yang mana masalahnya."
13 pertanyaan
Saat memberikan keterangan kepada Tim Komnas HAM, Harianto Badjuri mendapat 13 pertanyaan terkait kerusuhan berdarah di Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu pekan lalu itu.
"Ada 13 pertanyaan itu, semuanya dijawab, tapi ada yang mengambang. Terutama masalah komando dan protap," ujar anggota Komnas HAM, Ahmad Baso, di Gedung Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam pemeriksaan itu, Badjuri menyerahkan sejumlah dokumen. Di antaranya, foto dan video kekerasan terhadap Satpol PP, surat instruksi dan konsep rencana operasional sehari sebelum penertiban.
Namun Komnas HAM menganggap barang bukti yang diserahkan Pemerintah DKI Jakarta tersebut, tidak memperlihatkan adanya kontak fisik yang dilakukan massa terhadap Satpol PP. Karena itu, perlu pendalaman lagi dengan Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo.
Soal penanggungjawab pelaksanaan operasi penertiban hingga terjadi kerusuhan, menjadi concern tim. Menurut Ahmad Baso, Satpol PP tidak memiliki konsep, hingga penertiban menimbulkan reaksi keras dimana-mana. "Keterangan ini akan didalami kembali dan akan dikroscek ke gubenur, agar masalahnya lebih jelas, dan tuntas."
Anggota Tim Investigasi Komnas HAM, Joni Simanjuntak mengatakan, poin terpenting, masalah mediasi. Soalnya, kedua pihak harus saling pengertian, agar tak terjadi benturan keras di lapangan. Dengan adanya mediasi yang baik, bisa meminimalisir bentrokan di lapangan.
© Copyright 2024, All Rights Reserved