MUNGKIN judul di atas tampak hiperbolik bagi sebagian masyarakat. Terutama bagi yang jalan pikirannya masih sama seperti pejabat di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Indonesia yang sampai hari ini --meski sudah diingatkan berkali-kali-- masih tampak abai melihat situasi dan kondisi data Indonesia yang sudah diumbar sedemikian murahnya di alam maya.
Mengapa disebut "sedemikian murahnya"? Karena de facto saat ini data-data tersebut sudah ditawarkan sampenya untuk bisa di-download gratis sebagai contoh data aslinya kalau ada yang berminat.
Mulai dari data-data nama penduduk detail dengan alamat lengkap, NIK (Nomor induk Kependudukan), NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), nomor handphone pribadi, nomor keanggotaan BPJS, hingga kepada NRP (Nomor Registrasi Pokok) utk TNI-Polri dan Identifikasi Sidik Jari semua mulai ditawarkan di Darkweb.
Hal ini seiring dengan bobolnya berbagai database seperti Dukcapil (Kependudukan dan Pencatatan Sipil), BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, INAFIS (Indonesian Automatic Fingerprint Identification System), hingga BAIS-TNI (Badan Aliansi Intelijen Strategis Tentara Nasional Indonesia) lengkap dengan semua User-Id dan Password-nya, dan sebagainya.
Semua data di atas sekarang sudah ada dan tersedia di Darkweb dengan berbagai kriteria dan ragam harganya. Mulai dari 1.000 dolar AS hingga 7.000 dolar AS bahkan lebih, tergantung spesifikasi dan kelengkapannya.
Sungguh sangat ironis sebagaimana komentar netizen di ranah maya yang sudah menyebut negara kita tercinta Indonesia ini sebagai Open Source Country alias Negara yang semua sumber (data)nya terbuka, sungguh sangat menyakitkan dan memalukan bagi yang sadar dan masih punya rasa nasionalisme sekaligus semangat merah putih (harga mati) dalam membela negara.
Namun bagi orang-orang yg tidak memiliki jiwa nasionalis tersebut memang sangat disayangkan. Mereka sudah tidak lagi memiliki sifat handarbeni (memiliki) republik ini. Secara enteng menganggap bahwa kebocoran dan penyebaran data-data tersebut merupakan hal biasa atau minimal "tidak berbahaya" karena ketidaktahuannya.
Di mana salah satunya menganggap sebagai data-data yang "sudah lama" dan tidak berguna, katanya. Contoh lain ketidaktahuannya adalah dengan menyebut singkatan VM (Virtual Machine) yang salah, sebagai FM (Firtual Machine?). Padahal apa susahnya hanya tinggal baca teks yang itu pun dibuatkan stafnya.
Oleh karena itu sebenarnya petisi yang digaungkan oleh SafeNet untuk mengartu merahkan atau meng-kickout alias memecat Menkominfo Budi Arie Setiadi saat ini adalah salah satu bentuk perjuangan anak bangsa yang ingin membela Tanah Airnya secara nyata.
Ibaratnya sebagai penumpang bus, kita tahu sopirnya tidak bisa mengendalikan laju dgn aman dan malah berbahaya. Sudah diingatkan tapi tetap tidak mau tahu yang harus dilakukan seharusnya apalagi sudah menyerah tidak tahu apa-apa. Sebaiknya memang secara kesatria mundur atau diganti saja.
Sebab kalau tidak diganti maka keseluruhan penumpang bus akan bahaya dan celaka semua, kecuali atasan dia memang juga terlibat.
Kalau secara hitungan bola, "skor" yang sekarang dialami oleh Indonesia yang diwakili Kemkominfo dalam urusan data ini sudah lebih dari Haultrick (0-7). Apalagi yang terbaru sudah bocor juga data-data dari Satu Pintu Kota Denpasar, BPJS-Ketenagakerjaan, Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan dan sebagainya.
Jadi sangat wajar kalau kiper yang kebobolan sampai banyak sekali tersebut dikartu merah, kecuali (sekali lagi) dia ada "main" dengan pelatih/ manajer timnya sehingga punya bargain atau saling menyandera.
Hal yg terbaru adalah dipublikasikan oleh nama yang sempat viral di Indonesia karena berhasil meretas data-data MyPertamina, IndiHome, SIM Card dari Database Kominfo, surat-surat ke Presiden, data KPU dan sebagainya, yakni Bjorka.
Kemarin akun X/ Twitter-nya menulis bahwa ada seorang wanita Rusia yg disebut-sebutnya akan membuat heboh di sini. "Sebentar lagi akan hadir hacker bernama Stevania Mantiri. Dia berasal dari Rusia. Akan kasih kejutan besar!" katanya.
Bahkan dalam video yang diunggahnya, Bjorka juga menyebutkan bahwa ada rahasia yang tidak akan diungkapkan dan meminta Indonesia untuk mengecek sistem sibernya: "Kami adalah anonymous. Kami bisa menjadi siapa saja tanpa kamu ketahui," tulis Bjorka.
Apakah postingan di atas hanya dianggap sebagai "gertak sambal" saja dan kembali diabaikan oleh Kemkominfo? Saya sangat harapkan tidak.
Karena sebagaimana sudah selalu saya katakan dalam berbagai forum dan media, proses enkripsi PDNs-2 di Surabaya kemarin hanyalah sebagai "entry point" dan "test the water" dari puncak gunung es tsunami bencana data yang akan dialami oleh Indonesia.
Tsunami data tersebut bisa dibayangkan bilamana masyarakat repot seperti kasus di imigrasi kemarin. Selain itu mulai kesulitan antre BBM karena data/ barcode tidak bisa diakses untuk subsidi. Juga saat di rumah sakit ternyata Kartu BPJS Kesehatan tidak dikenal lagi.
Kesimpulannya, sudah jelas bahaya mengancam di depan mata. Kalau Presiden Jokowi seolah-olah bisa berpidato bahwa "Data is the New Oil" dan mengerti artinya, tentu dalam pemanggilan Menkominfo bersama BSSN, Menkeu, Menkumham, Menpan, BPKB dan Telkom kemarin juga harus bisa memberi arahan untuk menyelamatkan Indonesia.
Maka kita tunggu saja hari-hari ini akan ada tindakan signifikan tidak dari rezim yang sedang berkuasa saat ini.
Artinya benar-benar masih nasionalis atau justru malah menyerah tunduk semuanya (dijual atau digadaikan) kepada oligarki dan kepentingan asing. Data-data sudah jelas tersebar akibat "kebodohan" sebagaimana disampaikan oleh Komisi I DPR-RI kemarin.
Apakah mau tetap dipertahankan kalau sudah begini?
*Penulis adalah Pemerhati Telematika
© Copyright 2024, All Rights Reserved