Pembayaran klaim asuransi Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kepada sejumlah pihak rumah sakit (RS) kembali menunggak. Akibat keterlambatan pembayaran, operasional sejumlah RS tersebut terganggu. Bahkan, bisa membuat RS tersebut mengalami kesulitan untuk pemenuhan kebutuhan obat-obatan dan kebutuhan lainnya.
Direktur Eksekutif Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Indonesia, Darodjatun Sanusi mengatakan, hingga saat ini banyak RS yang menunggak pembayaran pengadaan obat dengan rata-rata keterlambatan 4 hingga 6 bulan.
Kondisi tersebut disebabkan, belum dibayarnya pembelian obat-obatan hingga berbulan-bulan. Sehingga mengganggu cash flow industri obat dalam negeri dan bunga modal kerja yang tinggi. Kini, sebagian dari industri farmasi terancam tutup.
“Sebenarnya saya tidak mengetahui secara pasti kesalahan dari kasus tunggakan pembayaran obat oleh RS ke industri farmasi. Karena tidak ada data yang bisa dijadikan pegangan oleh industri farmasi, seperti berapa nilai premi yang sudah dibayarkan oleh BPJS Kesehatan ke RS dan RS mana yang belum menerima klaim asuransi JKN. Apalagi, klaim JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada provider baik RS, klinik, maupun puskesmas sifatnya adalah paket,” katanya kepada politikindonesia.com, di sela Rapat Koordinasi Pembahasan Usulan Kenaikan Harga Obat di Era JKN, di Jakarta, Kamis (13/09).
Dia menjelaskan, pihaknya mencatat, utang JKN kepada pedagang besar farmasi dan penyalur alat kesehatan (PBF/PAK) yang telah jatuh tempo makin membengkak dan makin panjang masa pembayarannya. Utang obat dan alkes JKN jatuh tempo yang belum dibayar mencapai Rp3,5 triliun per Juli 2018. Angka ini akan terus membesar dari waktu ke waktu sesuai aktivitas suplai sampai akhir tahun. Akibatnya, suplai obat-obatan dan alkes untuk JKN terancam mengalami kendala jelang akhir 2018.
“Kami sudah mengirim surat kepada Menteri Kesehatan tertanggal 13 Agustus 2018. Dalam surat tersebut, selain masalah pembayaran utang JKN yang sudah masuk titik kritis. PBF dan PAK juga memikul beban biaya tinggi dengan adanya aturan Wapu. Setiap obat dan alkes yang dijual kepada fasilitas kesehatan (faskes) pemerintah dipungut PPN 10 persen dan PPh 22 sebesar 1,5 persen. Ini menambah beban cash flow dan bunga modal kerja yang sangat tinggi. Sekitar Rp1,5 triliun sampai Rp 2 triliun dana PPN PBF dan PAK berstatus lebih bayar ke pemerintah, yang seharusnya selalu direstitusi setiap tahunnya,” paparnya.
Diakuinya, sebenarnya banyak industri farmasi Indonesia yang terancam tutup, bukan hanya karena menunggaknya pembayaran klaim asuransi JKN oleh BPJS ke RS. Tapi juga, karena diberlakukannya fornas obat-obatan pada era JKN, sekitar 60 persen sehingga harga obat turun dari harga sebelumnya. Selain itu, kenaikan nilai dolar Amerika Serikat terhadap rupiah juga membuat harga bahan baku obat juga meroket. Sebab, sekitar 95 persen bahan baku obat masih bergantung pada impor dari beberapa negara, seperti India dan Tiongkok. Bahkan, sekitar 50 persen material kemasan obat pun masih impor.
“Dengan kondisi prosentase bahan baku obat yang masih import tersebut, maka 7 persen harga obat di Indonesia tergantung fluktuasi nilai dolar Amerika Serikat. Kalau dulu misalnya harga bahan baku obat per kilo USD5, dan sekarang katakanlah naik USD6, kalau dikalikan dengan nilai tukar rupiah di angka Rp15.000, maka akan beda. Ada kenaikan harga di Indonesia. Tapi, saat ini perusahaan farmasi sepakat untuk tidak semena-mena menaikkan harga obat, melainkan melakukan langkah efisiensi pada proses produksi, bahan tambahan, dan bahan kemas,” ungkapnya.
© Copyright 2024, All Rights Reserved