Apa yang salah dengan pengawasan internal perbankan kita? Bagaimana bekerjanya proses penegakan peraturan Bank Indonesia, sehingga pembobolan bank secara beruntun terus terjadi?. Bobolnya kembali Bank Mega, jelas menunjukkan ada kesalahan akut dalam sistem pengawasan perbankan kita.
Seperti diketahui, kasus raibnya dana Elnusa (ELSA) sebesar Rp111 miliar di Bank Mega, masih dalam penyelidikan, kasus sejenis muncul lagi. Kali ini, Rp80 miliar dana Pemerintah Kabupaten Batubara, Sumatera Utara di bank tersebut, dibobol.
Aparat Kejaksaan Agung bekerjasama dengan PPATK tengah menelusuri hilangnya dana Pemkab Batubara itu. Tidak tanggung-tanggung, dalam dua kasus yang tergolong masih hangat itu, diduga melibatkan pimpinan kantor cabang Bank Mega Jababeka.
Dalam kasus terakhir, aparat Kejagung telah menangkap 2 tersangka. Yakni, Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Aset, YR dan Bendahara Umum Pemkab Batubara, FK. Keduanya diduga menilep dana kas daerah itu, dengan memindahkannya ke rekening lain secara bertahap. Pada 15 September 2010 hingga 11 April 2011, keduanya menyimpan dana dalam deposito, Rp80 Miliar di Bank Mega Jababeka.
Untuk itu, keduanya dijerat pasal 2 ayat (1), pasal 3 Undang-Undang Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Noor Rachmad menyebutkan kedua tersangka menerima keuntungan berupa cash back senilai Rp405 juta.
Pada kasus pembobolan dana Elnusa, polisi sudah menetapkan tersangka (bekas Direktur Keuangan Elnusa, Santun Nainggolan. Lalu, Kepala Cbang Bank Mega Jababeka Itman Harry Basuki, CEO Discovery sekaligus komisaris HAM Ivan Ch, seorang broker, Richard Latief, Direktur DI Gun dan staf HAM Zul.
Ada Kelemahan
Harus diakui, masih ada kelemahan dalam proses dan peraturan BI. Tetapi, harus juga diingat, seketat apa pun suatu peraturan, kalau memang ada institusi, atau siapa pun yang berniat tidak baik pasti akan mencari celah untuk memperdayai aturan dan sistem yang ada.
Dengan asumsi seperti itu, bisa disebutkan, otoritas moneter dan bank-bank pastilah sudah berusaha melakukan yang terbaik dan memiliki peraturan cukup ketat. Tinggal lagi, prinsip kehati-hatian yang harus amat sangat ditanamkan dalam sebuah bank, terutama kalau dilihat dari sisi resiko.
Karena, hal itu sangat berbanding terbalik, kalau dilihat dari sisi bisnis. Semakin agresif sebuah bank dalam penetrasi pasarnya, tentunya semakin tinggi pula tingkat resikonya.
Satu hal, dalam kasus pembobolan bank, jelas terlihat, masing-masing memiliki kelemahan, baik marketing, nasabah, complience dan BI, yang akhirnya terkait satu sama lainnya. Intinya, ada kelemahan dari sisi proses. Ini yang berjalan selama bertahun-tahun, sehingga pada satu titik, terjadi comfort zone yang bisa melenakan.
Akibatnya, dalam zona kenyamanan itu, kemungkinan terjadinya fraud atau penyelewengan, akan semakin besar. Karena, terjadi ketidakpatuhan dalam mengikuti aturan dan prinsip kehati-hatian, yang mestinya mendasari operasionalisasi perbankan. Termasuk yang tertuang dalam peraturan BI.
Masalahnya makin kompleks, karena ada target achievement bagus dari marketing, yang tentu saja memiliki nilai positif di mata perbankan. Nah, dari sisi itulah, saat kelengahan terjadi, bisa membuat siapa pun mudah terjerumus.
Karena itu, sekali lagi, kunci masalahnya, sebenarnya pada pengawasan internal, yang setiap hari mengikuti aktifitas bank. Memang, pengawasan BI perlu, tetapi sebagus apa pun aturannya, itu hanyalah dari sisi luar, sehingga pasti tak menyentuh akar soalnya.
Kalau semua sesuai prosedur, pasti kroscek semua bagian berjalan baik dan sudah dilakukan. Intinya, segala proses dalam bank harus sesuai standar prosedur, selain harus pintar-pintar memilih nasabah. Umumnya yang terjadi sampai saat ini, biasanya ada orang dalam yang terlibat.
Ketegasan BI
Setelah pengawasan internal dijalankan dengan baik, kini publik menantikan ketegasan Bank Indonesia. Paling tidak seperti diungkapkan politisi yang juga pengamat ekonomi dan perbankan, Dradjad Wibowo, BI harus bersikap tegas menjatuhkan sanksi kepada PT Bank Mega Tbk. Kasus kebobolan beruntun yang dialaminya, tak bisa ditolerir lagi.
Dengan kasus pembobolan yang nyaris beruntun itu, wajar kalau otoritas moneter menjatuhkan sanksi. Ketegasan seperti itu, sudah dijatuhkan BI dalam kasus sejenis di Citibank (pembobolan oleh MD), selain karena kasus tewasnya nasabahnya di tangan debt collector, belum lama ini.
Sekedar mengingatkan, Jumat (07/05), BI mengumumkan sejumlah sanksi cukup berat untuk Citibank. Selain penghentian sementara akuisisi nasabah Citigold dan kartu kredit, masih terdapat sejumlah sanksi lain. Yaitu, larangan membuka cabang selama setahun, pemberhentian karyawan yang terlibat kasus pembobolan dana Citigold dan kartu kredit, sampai tindakan menonaktifkan sejumlah pejabat.
Bercermin dari Kasus Citibank itu, sesuai asas fairnes, Bank Mega juga layak mendapat sanksi tegas. Artinya, BI seharusnya bisa mengambil tindakan dan sanksi, meski penyidikan kasus hukumnya masih berjalan. BI memiliki kewenangan pemeriksaan, selain pemeriksaan khusus terhadap bank.
Dalam soal ini, ketegasan BI diperlukan, agar tidak terjadi efek bola salju ketidakpercayaan terhadap Bank Mega, termasuk terhadap perbankan secara keseluruhan. Dalam konteks ini, BI bisa meminta pertanggungjawaban Bank Mega atas sistem kontrol internalnya, yang bisa bobol beruntun.
Langkah itu sekaligus untuk memastikan, kasus raibnya dana Pemkab Batubara itu adalah yang terakhir. Ini harus dipastikan, mengingat tak ada jaminan kasus sejenis tak berulang lagi di masa mendatang, setelah melihat buruknya pengawasan internal dan tidak tegaknya prinsip kehati-hatian di bank yang bersangkutan.
Pembobolan beruntun ini jelas mengindikasikan, Bank Mega memiliki kelemahan dalam pengawasan internal dan SOP perbankan. Selain itu, sebagai badan hukum, bank tersebut gagal menjaga simpanan nasabah yang dipercayakan kepadanya. Ini tentu membahayakan. Karena, bagaimana pun, bisnis bank adalah bisnis kepercayaan.
Nah, sebelum terlambat, sebelum tingkat kepercayaan masyarakat menurut terhadap operasionalisasi perbankan, semua pihak harus concern untuk memperbaiki keadaan. Perbankan harus bersungguh-sungguh menegakkan SOP dan menjalankan pengawasan internal dan prinsip kehati-hatian. Ke depan, setelah itu, kita berharap intermediasi perbankan makin meningkat, yang berimplikasi pada kesejahteraan masyarakat.
Didit Adhitia, Pengamat Ekonomi dan Perbankan
© Copyright 2024, All Rights Reserved